Resign, Karena-Mu Kumemilih Pergi (a true story about hijab)


Apa kabar, teman-teman?

“Miss, berdasarkan memo yang aku dapat tadi pagi, mulai hari ini, Miss dipindahkan ke ...” kata Supervisor kami di bulan Maret 2015 siang itu.


“Kenapa harus saya???” tanya saya saking kagetnya.

Selain menerima keputusan yang begitu mendadak, ada hal lain yang bikin saya kaget luar biasa, sekaligus berat rasanya ketika saya yang harus terpilih untuk dimutasi ke cabang yang disebutkan.


“Fairuz bergonya cakep-cakep ya. Fairuz jadi tambah cantik,” puji saya, sekitar di awal tahun 2015 sore itu, pas jam istirahat dan dia lagi malas keluar kelas.

“Aku belinya di ...” jawab dia sembari menyebutkan nama sebuah brand hijab di daerah Rawamangun.

“Gerah nggak, kalau tiap hari pakai bergo?”

Iya saya tau kalau ini cuma pertanyaan basi, tapi saya cuma pingin tau aja rasanya berhijab versi anak-anak.

“Enggak, sih.Ya paling gerah-gerah dikit aja kalau habis olah-raga.”

“Emangnya Fairuz udah lama ya berhijabnya?” tanya saya lagi.

“Baru sih. Pas aku naik kelas tiga. Waktu kelas satu sama kelas dua, aku pakainya cuma pas sekolah aja. Pas naik kelas tiga, aku tobat!!!” katanya sembari ngakak.

Obrolan kami pun terputus, karena waktu istirahat udah selesai.


Buku-buku dan berbagai artikel, serta memiliki teman dan orang-orang yang banyak ngasih pemahaman dan nasihat, bikin saya berkali-kali terpikir untuk berhijab. Bahkan saya pun punya target, pingin memulainya pada lebaran di tahun 2014 lalu. Tapi tiap kali niat itu ada, selalu aja diiringi dengan, “Tapi nanti aja deh!” Toh yang terpenting, saya berada di tempat kerja yang memungkingkan untuk berhijab.

Sampai akhirnya, mungkin dengan cara inilah Allah menggerakkan hati saya. Kalimat terakhir Fairuz di sore itu terasa begitu menohok. “Pas naik kelas tiga, aku tobat!!!”

Mungkin akan terdengar biasa aja kalau yang ngomongnya itu orang dewasa. Lah ini anak umur delapan tahun. Perkataan yang terus terulang dalam pikiran saya, sekaligus mendatangkan tanya pada diri sendiri, “Trus lu kapan tobatnya???”

Saya nggak pingin menunda-nundanya lagi! Target saya. Tapi sama sekali saya nggak nyangka, kalau ketika pingin melakukannya dengan segera, justru malah dapat kabar kalau harus dimutasi ke cabang, dimana pimpinan kami memiliki kebijakan kalau di cabang tersebut nggak diperkenankan berhijab!


“Bos kita tentu punya pertimbangan kenapa Miss yang diminta. Dan salah satuya karena Miss nggak berhijab, jadi bisa ditempatkan di sana,” lanjut Supervisor kami.

Tentu akan jadi merumit urusannya jika harus menjelaskan rencana saya saat itu juga. Atau mungkin, bisa aja saya dibilang nyari alasan seketika. Mengajukan pengunduran diri tiba-tiba? Satu hal yang lebih enggak mungkin lagi, karena saya masih terikat kontrak kerja untuk beberapa bulan kedepan. Ada denda yang harus terbayar kalau kata berhenti itu berasal dari saya. Satu-satunya yang bisa dihadapi hanyalah menerima!


Lebaran di tahun 2015, menuju satu bulan berakhirnya kontrak kerja dengan enggak ada tanda-tanda bahwa saya akan dimutasikan kembali ke cabang sebelumnya, seperti pembicaraan kami diawal seandainya ada kesempatan.

Sama kayak tahun-tahun sebelumnya, tiap kali lebaran tentu saya mengenakan pakaian tertutup dengan kerudung yang juga benar-benar tertutup, bukan cuma tersampir di pundak atau terpasang dengan asal.

Sejak hari pertama dimutasi, saya memang memiliki target bahwa setelah kontrak kerja selesai di akhir Agustus nanti, saya akan langsung mengajukan surat pengunduran diri, melewati “masa tenggang” satu bulan, hingga di akhir September akan resmi resign sekaligus menjadi awal bagi saya untuk berhijab.

Saya pun juga berkeinginan, semoga Allah memberi saya kesempatan untuk menjadi English Math Teacher, dimana saya akan mengajar matematika dengan pengantar bahasa Inggris. Beginilah target saya hingga di hari terakhir Ramadhan.

Tapi di lebaran hari pertama itu, bisa dikatakan bahwa ini sebuah keputusan tiba-tiba kalau saya ingin memulainya saat itu juga, bukan nanti setelah resign! Saya ingin memulainya saat itu juga dengan seadanya yang saya punya, bukan nanti setelah memiliki banyak koleksi hijab. Saya ingin memulainya saat itu juga dengan sebisanya, karena sadar masih belum bisa sepenuhnya.


“Yakin mau resign?” tanya salah seorang teman kerja ketika saya berbagi cerita akan rencana itu.

“Ya emangnya apa yang harus bikin nggak yakin?” balas saya nyengir.

“Udah dapet yang baru?”

“Belum.”

“Lah terus?”


Setelah mulai merasakan nyamannya berhijab selama sepekan libur lebaran, waktunya untuk kembali ke tempat kerja. Di depan cermin lebar di lantai satu itu, saya copot hijab yang dari rumah dikenakan. Nggak bisa dinarasikan gimana pedihnya. Hati saya nggak terima, tapi ini yang mesti saya jalankan untuk dua bulan kedepan. Lebay? Iya, tapi emang gitu kenyataannya.

Berkali-kali saya bilang, “Ya, Rabb, saya iri dengan perempuan yang begitu Engkau mudahkan untuk menutup aurat. Kenapa saya enggak?” Walau pada akhirnya saya sadar, Allah pasti punya alasan dibalik kesulitan ini.

Kalau baru hari pertama aja udah kayak gini, apa saya sanggup menjalaninya sampai dua bulan kedepan? Pikir saya saat itu. Terpikir pula apa saya salah dengan keputusan ini? Maksudnya, kalau mengikuti rencana sebelumnya, tentu saya akan menghabiskan sisa waktu di sana dengan hati yang lancar. Namun saya berpikir kembali, semua yang terjadi dan yang enggak terjadi dalam tiap alur hidup ini, tentu atas rencana Allah.

Udah ngadepin suasana hati yang kayak gini, kuping dan mata saya masih harus menghadapi mulut dan tulisan kotbah tanpa paham masalahnya alias sotoy.

“Kenapa sih nggak langsung resign aja. Kalau soal rejeki mah nggak usah takut, karena rejeki tiap manusia itu kan udah diatur sama Allah. Yang penting kita udah taat,” cerocos seseorang di komen facebook. Ini tulisan cuma sebagian. Komen kotbah dia masih ada lagi, haha...

“Kalau resign sekarang kena pinalty. Bayarin gih,” balas saya singkat, namun menohok. Khas saya kalau lagi ngadepin orang sotoy.

“Ohhh...”

Andai didahului dengan tanya, tentu kotbah itu nggak akan salah alamat ya.


Walau tahu bahwa kemungkinannya kecil sekali, namun saya tetap mengikuti saran teman kalau sebaiknya mencoba mengajukan mutasi kembali. Satu minggu menunggu jawaban itu, hingga akhirnya pimpinan kami bilang masih belum ada kesempatan. Langsung saya bilang kalau pingin resign aja setelah kontrak kerja selesai tiga pekan kemudian.

Iyya ka na’budu, wa iyya ka nasta’in, jawab saya tiap kali ada yang nanya, kok nekat banget sih resign tanpa nyari kerjaan yang baru dulu.

Saya maklum dengan orang-orang yang paham dengan jalan pikiran saya. Orang yang ibadahnya rajin sekalipun, belum tentu bisa “percaya” pada Tuhannya. Belum tentu bisa ikhlas dan berbaik sangka pada Tuhan.

Perlahan, jalan untuk resign itu diberi kemudahan. Saya langsung mengajukan surat resign keesokan harinya ketika seseorang menjelaskan kalau resign itu bisa diajukan di bulan kesebelas. Jadi setelah melewati “masa tenggang” satu bulan, bisa selesai bersamaan kontrak kerja berakhir.

Hati saya pun jadi jauh lebih tenang setelah tahu apa yang mesti dilakukan untuk kedepannya. Keesokan harinya saya langsung ikhtiar, mencari info sana-sini. Silaturahmi dengan teman-teman akademik yang terus terjalin sampai sekarang, bikin mereka ikut membantu. Menyenangkan ketika ikhtiar ini nggak saya jalani sendirian.

Satu hal yang masih terlihat abu-abu ternyata jauh lebih melegakan. Memang saya nggak begitu khawatir untuk melepas pekerjaan itu, karena masih ada penghasilan lain sebagai penulis dan guru privat dari dua murid. Tapi kalaupun penghasilan saya cuma itulah satu-satunya, bukan berarti saya akan takut melepas pekerjaan itu.

Iyya ka na’budu, wa iyya ka nasta’in. Kalau waktu masih umbar aurat aja Allah ngasih rejeki sana-sani, apalagi ketika Allah tau kalau saya lagi belajar untuk makin taat pada-Nya. Kalimat inilah yang bikin saya yakin sekali atas pilihan saat itu.


“Miss, barusan aku dapat kabar dari bos kita kalau resign Miss dipercepat. Jadi terakhirnya tanggal 31 nanti,” ucap Supervisor kami, 28 Agustus 2015 menjelang sore itu.

“Wow, that’s good!” balas saya keceplosan, saking senangnya karena resign saya dipercepat delapan hari.

Setengah jam setelah pembicaraan itu, sebuah pesan melalui WhatsApp saya terima.

Miss, besok kita bisa ketemuan, nggak? Aku mau offering. Seandainya deal, senin bisa tanda-tangan kerja-sama kita. Jadi per-satu September, Miss bisa mulai bergabung dengan aku.

Inilah the power of iyya ka na’budu wa iyya ka nasta’in yang selalu saya ucapkan selama tiga pekan. Sore itu saya merasakan keajaibannya. Hasil interview kami seminggu sebelumnya ternyata berkelanjutan. Cepat-cepat saya balas pesan yang dikirimkan oleh pimpinan lembaga kursus bahasa Inggris dan English Math itu.

1 September 2015, menjadi awal bagi saya untuk bisa berhijab sepenuhnya, sekaligus berada di tempat yang baru. Inilah perjuangan saya biar semua rejeki bisa saya dapat tanpa harus melepas hijab lagi. Ini juga cara Allah menjawab keinginan saya untuk menjadi English Math teacher tanpa meninggalkan yang sebelumnya menjadi English teacher. Ya, saya diberi kesempatan untuk mengajar keduanya.       

Ini memang bukan akhir dari perjuangan, karena istiqomah tentu lebih besar tantangannya. Terima kasih ya, Rabb, untuk alur cerita yang luar biasa ini. Awalnya saya berpikir, kalaupun setelah resign belum ada penggantinya, yang terpenting saya tinggalkan dulu apa yang bertentangan dengan kata hati dan tentunya... kata-Mu. Karena-Mu saya memilih pergi. Dan Engkau pun menjawabnya lebih dari apa yang terduga.

Saya tau bahwa perjuangan ini nggak ada apa-apanya ketimbang mereka yang jauh lebih merasakan “mahalnya” kesempatan berhijab. Namun kami nggak menyerah untuk mewujudkan mimpi termahal ini: bisa berhijab sepenuhnya! Semoga segala kesulitan ini menjadi pengingat untuk terus istiqomah.

Untuk pimpinan saya di tempat lama, terima kasih atas resign yang dipercepat, dan tentunya atas satu tahun perjalanan saya di sana. Saya sangat menghormati kebijakan itu, karena paham bahwa kami memiliki hak masing-masing. 

Untuk Fairuz, melalui dia saya belajar bahwa syi’ar terindah itu adalah dengan mencontohkan. Untuk Mama Yola-Vivie-Jordy yang ngasih hadiah lebaran berupa scarf dari brand hijab terkenal. Ini kali kedua saya merasa tertohok. Hadiah yang bikin saya merasa seperti makin diingatkan untuk segera berhijab. Dan ini juga hijab pertama yang saya punya, karena sebelumnya selalu pinjam sama Tante yang koleksi hijabnya seabreg :P

Semoga cerita ini menjadi syi’ar. Kalau ustad dan ustadzah melalui ceramah, tukang nulis melalui kisah, haha...


November 20th, 2015
Baru sempet nulis :P