Pagi di Bukit St. Paul (Ngayap-Ngayap ke Melaka - Singapura Day 2A)




Apa kabar, teman-teman?

Malam sebelum pulang ke hotel, kami jalan dulu ke selurusan Jonker Walk lagi, karena mau lihat-lihat toko kue yang ada di perempatan jalan. Saya lupa nama tokonya karena kantongnya udah
dibuang, haha... Pokoknya dari muka jalan Jonker Walk lurus aja dan ini toko adanya di perempatan persis, sebelah kiri.


Ini di dalam tokonya. Jonker Street, Melaka
Di toko kue ini banyak banget makanan serba duren. Tapi nggak ada duda keren :p Ada beberapa oleh-oleh yang kami incar, tapi belinya besok aja karena udah mau hujan. Trus kami ngelihat coklat dan durian layer cake.

“Ini homemade cake,” kata ibu penjualnya, seorang ibu setengah baya Chinese.

Kami memutuskan untuk beli yang duren, yang tinggal 2 slice aja. Ini yang bikin kami ngakak mulai dari toko sampe hotel. Mba Piet ngasih uang 2 ringgit. Trus kata si ibu penjualnya, satu slice harganya 9 ringgit.

“Hahhh???” kata mba Piet sambil ngelihat lagi harganya.

RM. 9,00 mba Piet ngelihatnya RM. 0,90. Makanya ngasih 2 ringgit doang.  Saya udah nulis kan kalau Mba Piet dengan pedenya bawa duit 30 ringgit doang, banyakan dollarnya, dan udah dibeliin rujak, air asem, dan makan malam di riverside pula, hahaha...

“Di antara lu berdua... talangin dulu. Lu tau kan gue cuma bawa 30 ringgit, haha...” kata Mba Piet akhirnya. 

Ini dia penampakannya...

Melaka
Durian Layer Cake di Jonker Walk, Melaka
Nyampe di hotel, kami cobain satu slice dulu, belah tiga, karena udah kenyang banget. Lembut banget, kayak makan krim doang campur duren. Durennya berasa banget dan memang duren asli. Sampe sekarang masih kebayang enaknya ini cake, haha...

Melaka
Perempatan menuju Jonker Walk, Melaka
Paginya, selesai sarapan yang disediakan gratis dari hotel plus makan sisa 1 slice durian layer cake, agenda ngayap kami selanjutnya adalah ke area Gereja Merah lagi lalu ke bukit St. Paul dan selurusan jalan itu.


Tiba di muka jalan, kami nyeberang dan area foto-foto kami yang pertama adalah di depan kincir, haha... Anggep aja latihan mejeng di depan kincir Belanda, sebelum ada kesempatan bisa ke sana. Kincir ini makin diperkece dengan bunga-bunga. Jadi seger banget ngelihatnya,
plus foto-fotonya. Saya waktu ke sini belum kerudungan, jadi nggak upload fotonya ya, hehe...

Gereja Merah, Melaka

Melaka
Jam Gadang Melaka, haha...
Melaka
Air Mancur di area Gereja Merah, Melaka
Dari depan kincir, kami nyeberang menuju area Gereja. Gerejanya ini ada di sisi kiri. Di sini juga ada beberapa kedai kecil yang jual souvenir, kayak gantungan kunci, magnet kulkas, dan lainnya. Selesai foto-foto di sini, kami jalan ke sisi menuju bukit St. Paul.

Melaka
Tangga menuju  Bukit St. Paul, Melaka
St.Paul ini nama gereja tertua di Malaysia dan Asia Tenggara, yang dibangun tahun 1521, jaman penjajahan Portugis di Melaka. Karena gereja ini ada di atas bukit, jadi dikasih nama bukit St. Paul. Sekarang yang kami datangi ini ya reruntuhannya.

Untuk nyampe di atas bukit ini kudu naik tangga yang lumayan ngos-ngosan, haha... khususnya buat orang yang malas olah-raga kayak saya. Naik tangga, duduk, istirahat bentar, foto-foto, naik lagi, sampai akhirnya nyampe juga ke atas bukitnya. Udah ada beberapa orang yang datangnya lebih pagi dari kami. Kalau kami kan leyeh-leyeh dulu di kamar.

Melaka
Naik tangga menuju Bukit St. Paul, Melaka
Sebelum masuk, kami wefie dulu bareng patung St. Francis Xavier, seseorang yang kala itu sedang melakukan perjalanan misionarisnya ke Melaka.

Melaka
Patung St, Francis Xavier, Bukit St. Paul, Melaka
Selanjutnya kami masuk ke dalam, ke sisa reruntuhan gereja St. Paul.

Melaka
Bukit St. Paul, Melaka
Melaka
Bukit St. Paul, Melaka
Dan kalau ini merupakan bekas makam St. Francis Xavier dan beberapa orang Portugis juga ada yang pernah dimakamkan di sini sebelum dipulangkan ke negara mereka. 

Melaka
Bukit St. Paul, Melaka

Melaka
Tampak dekat. Bukit St. Paul, Melaka

Melaka
Bukit St. Paul, Melaka

Melaka
Bukit St. Paul, Melaka
Saatnya kami turun kembali, yang tentunya lebih cepet ketimbang naik tangga sebelumnya, haha... Pas di pertengahan turun ini, ada rombongan kecil abegeh, wajah-wajah Chinese entah dari Malaysia, Singapur, atau Thailand.

“Oh my God... Oh my God...” kata itu cewek abegeh tiap naik tangga yang bikin saya jadi nyeletuk ke Mba Piet dan Mba Ninna.

“Yaelah ini bocah. Masih muda juga. Naik tangga pake oh my God, oh my God, haha...”

“Dia nggak tau aja, si Nita pas tadi naik, ngomong oh my goodness, oh my goodness...” balas Mba Piet.

Melaka
View dari atas bukit St. Paul, Melaka
Emang iya sih, engap banget. Begitu turun, kami lanjut jalan ke sisi kiri, lihat-lihat ini...

Letakkan pada tempatnya...

Awas kalau kamohh masuk...
Dilarang masuk juga...



Mall belum buka

Parkir di sini

Melaka
Peninggalan sejarah - Melaka

Melaka
Peninggalan sejarah - Melaka

Melaka
Di jalanan - Melaka

Melaka
Di jalanan juga... - Melaka

Melaka
Bangunan sejarah - Melaka
Main di pinggir kali eh river lagi...

Horeyyy... - Melaka

Melaka
Malacca riverside - Melaka

Tandas awam - Mallaca riverside, Melaka

Melaka
Malacca riverside, Melaka

Sepatunya udah dekil, haha... - Malacca riverside, Melaka
Selesai, kami balik lagi menuju perempatan Jonker Walk, lalu berjalan ke sisi kanan sekarang. Di selurusan jalan ini ada penginapan, restoran, dan kedai souvenir. Rumah-rumah penduduk juga ada. Masa saya lihat ada warung sayur, trus yang belanja ada yang berwajah Melayu, Chinese, dan India. Buat saya ini penting buat ditulis, hahaha...

Halaman rumah orang - Melaka
Melaka
Kelenteng di Melaka

Melaka
Jalan pagi... - Melaka

Melaka
Masjid Kampung Kling - Melaka
Di sebuah toko souvenir, kami mampir. Toko yang lumayan luas, menjual souvenir kayak gantungan kunci, magnet kulkas, topi, dan juga pajangan. Lebih banyak pilihan.

Saya beli mug yang harganya 15 ringgit. Gambar Melaka. Ada yang gambar Malaysia juga tapi saya nggak mau beli. Nanti aja beli di Kuala Lumpur kalau ada kesempatan ngayap ke sana.

Trus saya beli 3 magnet kulkas gambar Nyonya (Baba Nyonya). Satu saya kasih ke pacarnya adek yang WA minta magnet kulkas (((doang))), satu saya kasih ke Naya murid privat  saya, dan satu lagi buat saya. Trus saya beli gunting kuku gambar Melaka, haha... karena gunting kuku udah nggak tajam. Banyak gaya emang, beli gunting kuku aja kudu keluar negeri, hahahah...

Gantungan kunci buat oleh-oleh? Nggak! Saya udah kapok beli oleh-oleh gantungan kunci ketika beberapa orang bilang, “Cuma gantungan kunci, Nit? Heheheh...” Lah gantungan kunci doang juga saya nabung-nabung dulu buat ngumpulin dollarnya. Selesai belanja, kami muter-muter lagi. 

Kami kembali lagi ke toko kue itu untuk beli oleh-oleh. Saya beli selai duren kemasan kecil-kecil banget, ada selusin seharga 18 ringgit. Saya beli 2 pack sambil berdoa, semoga wanginya nggak ngambreng pas masuk ransel, haha... Miris aja udah ngeluarin 36 ringgit kalau harus dibuang, haha...

Durian Jam Melaka
Selai durian - Jonker Street, Melaka
Trus saya beli kayak crackers itu tapi bukan rasa duren yang harganya sekitar 8 ringgit. Eh iya, di sini juga kami minum kayak sirup rumput laut gitu seharga kayaknya 5 ringgit, satu gelas. Sehari sebelumnya itu kan, siang di Singapur panas banget, udah gitu berapa jam nggak cuci muka dan lagi capek juga. Kering kerontang lah muka saya, ditambah keluar jerawat kecil-kecil gitu. Trus si ibu penjual yang satu lagi bilang gini,

“Ini seaweed, bahan minuman itu. Bisa dibuat di rumah dengan sirup. Ini untuk you punya face biar tak macam itu lagi...”

Hahahahah... Eh tapi saran dia kan baik ya, biar saya jadi cakep, ihiwww... BTW, kalau di rumah mah muka kayak gini saya cuma butuh maskeran putih telur. Lah di sana beli telor di maneh? Kalau ada pun mungkin mahal pula. Tapi saya nggak beli itu rumput laut karena ringgit saya udah tinggal buat makan dan ongkos, haha...

Oh iya kalau mba Piet yang bawa duitnya kepedean cuma 30 ringgit, haha... Beli oleh-olehnya pake duitnya Mba Ninna. Pokoknya kami berdua nge-bully mba Piet terus deh tentang 30 ringgit itu, haha...

“Eh, lu berdua jangan ngatain gua mulu ya. Lu duit bis masih ngutang kan sama gua,” celetuk mba Piet.

Hahahahah... utang dibongkar. Bayar bus ini memang pake credit card-nya mba Piet, jadi belum jatuh tempo. Bayarnya entaran aja, haha...

Di tengah jalan menuju balik ke hotel, ada yang jualan Coconut Milkshake. Kelapa muda diblender trus kayaknya pake susu. Harganya sekitar 3 ringgit dan kalau pake es krim di atasnya, mungkin sekitar 4 ringgit. Saya beli yang nggak pake es krim. Enak juga ini minuman.

Coconut milkshake Melaka
Coconut milkshake di Jonker Street, Melaka
Balik ke hotel, langsung packing dan ada telepon. Saya yang ngangkat.

“Good morning, Miss. I’m from the receptionist. May we know what time you check out?” kata Sir resepsionisnya.

“Maybe  half an hour later, Sir,” balas saya.

“Oh, ok. We just give info that the check out at 10 a.m.”

“Haaahhhh....??? We’re really sorry, Sir. We forget to ask. Ok we’ll check out soon.”

Saat itu udah jam 10.30. Tapi Sir ini ramah banget lho. Katanya nggak apa-apa dan kami nggak didenda pula. Sampe di bawah, ternyata Sir resepsionis ini bapak yang bisa dibilang setengah baya, berwajah Chinese. Beliau tanya-tanya kami udah kemana aja. Lalu kami kan tanya,

“Yang saya tau, di Jonker ini ada night market. Kok semalam nggak ada ya?”

Trus kata Sir-nya, “Oh itu hanya di weekend saja. Weekdays ini tak ade. Ya tak ape, nanti holiday lagi ke Jonker, untuk tengok nightmarket-nya.”

Trus pas kami cerita tentang makanan halal, Sir-nya menyebutkan beberapa kedai. Kata dia mungkin malam sudah tutup. Lalu dia pun setengah kaget bertanya, “Eh you orang tak makan di kedai itu kan? Maaf lupa katakan kalau itu tak halal.”

“Tidak. Iya karena kami juga tak lihat tulisan halalnya.”

Kedai di perempatan itu emang rame banget. Yang makan ngantri banget.

Melihat gembolan ransel kami yang segede gaban, Sir-nya pun tanya lagi, “Naik apa you orang ke Malacca Central?”

“Naik bus Panorama dari depan gereja.”

You punya bag besar-besar sekali. Apa mau naik taksi? Bisa saya order.

Dan akhirnya kami memutuskan naik taksi aja. Rasanya sekitar 10 sampai 15 ringgit. Patungan bertiga kan nggak gitu berasa banget. Sambil nunggu taksinya dateng, kami ngobrol lagi,

You orang langsung ke Kuala Lumpur?” tanya Sir-nya.

“Tidak. Kami kembali ke Singapore. Flight kami dari Singapore.

“Oh, holiday ke Melaka dan Singapore ya. Apa job you orang?” tanya Sir-nya lagi.

“Saya housewife,” jawab Mba Piet.

“Ah, tak mungkin lah hanya housewife. Kalian punya job lain,” balas Sir-nya sambil ketawa.

“Mereka women entrepreneur, Sir,” samber saya.

“Nah kalau itu saya percaya,” lanjut si Sir.

Hahaha... kata mba Piet, duh gue jadi ge-er. Lah padahal emang bener ya, Mba Piet juragan travel dan Mba Ninna juragan novel. Untung si Sir nggak nanya saya. Abis itu taksinya dateng. Kami pun pamitan lalu capcus menuju Malacca Central. Melewati jembatan river, kembali saya melihat perahu. Pingin naikkk...

Pagi menjelang siang yang nggak terlalu ramai, nggak sepi juga. “Kereta-keretabanyak juga di jalan raya dan parkiran, tapi nggak macet. Berhenti ya pas ada lampu merah. Perjalanan lumayan cepet karena naik taksi.

Setiba di Malacca Central, kami nyari loket bus. Cuma konfirmasi aja karena pesannya kan PP dari Queen St. Lalu ngisi immigration form untuk masuk Singapur. Abis itu kami makan di lantai atas.

Ini rada gokil. Setelah lihat-lihat menu, saya putuskan untuk makan mee goreng. Tulisannya begonoh, “mee” bukan “mie”. Trus yang jualnya nanya, “Pakai ayam?”

“Ayam ya?” saya ngulang. Maksudnya lagi mikir, yang pakai ayam atau yang biasa aja.

“Chicken?” lanjut si penjual.

“Iya yang mee goreng ayam aja,” kata saya akhirnya.

Dalam hati saya ngakak, berasa bule banget sih gue. Ayam aja kudu diterjemahin ke chicken, hahah...

Mee goreng ayam Melaka
Mee goreng ayam, Malacca Central 
Kalau di sini kan biasanya ayam suwir ya. Lah ini ayam keprek masih ada tulang-tulangnya. Ribetlah saya kudu main tangan dan bikin lama, sedangkan kami udah diuber waktu untuk naik bus. Cuma punya waktu setengah jam, jekkk... sebelum bus jalan.

Selesai makan. Di sinilah kejujuran kami diuji, ciyehhh... Mba Piet ngasih uang 30 ringgit. Harusnya kembaliannya cuma sekian cent aja, tapi ini dikasih 20 ringgit lebih. Mungkin disangkanya mba Piet ngasih 50 ringgit.

Kami udah mau cepet-cepet, tapi mba Ninna bilang, konfirmasi lagi aja mba Piet. Akhirnya mba Piet ke kasir lagi dan si penjualnya seneng banget. Uang kami dikembalikan sekian cent. Dia bilang makasih ke mba Piet dan melambaikan tangan ke saya dan mba Ninna yang diri di kejauhan. Abis itu kami lari-lari untuk naik bus yang tinggal beberapa menit lagi.

Begitu sampai di depan bus, kami naik dan nggak lama langsung jalan. Telat dikit ya udah ditinggal.

Bye... bye... Malacca. Selesai sudah kelayapan kami di Melaka. Selanjutnya kami menuju Singapur lagi. Nanti saya mau cerita rasa norak saya yang akhirnya bisa nonton laser show di Merlion Park. Oh ya, tentang murtabak (alias martabak) vs prata yang bikin kami ngakak, serta ngelihatin diskonan di City Hall.  

Makasih banyak ya teman-teman udah mampir. Moga teman-teman yang pingin ke sana, juga dikasih kesempatan ya rezekinya juga dimudahkan...