Pagi Menjelang Siang di Ruang Poli Kanker


Cancer and Breast Cancer...

Sedari kemarin, baik di akun personal teman-teman maupun komunitas blogger, banyak yang menuliskan tentang kepergian mba Deasy, seorang breast cancer survivor.

Nggak cuma tentang mba Deasy, tiap kali mendengar tentang cancer survivors, apalagi untuk breast cancer selalu mendatangkan kesedihan bagi saya. Bahkan hanya sekedar membaca atau menonton film fiksi tentang kanker. Kok sampe segitunya???

Tiap kali mendengar atau membaca kata “kanker” “cancer” dan “breast cancer” selalu membuat saya kembali teringat akan pagi menjelang siang kala itu... tiga tahun yang lalu rasanya, di sebuah ruang poli kanker.

Saya menyeret kedua kaki menuju ruangan itu, ketika nama saya dipanggil. Bahkan sampai dua kali karena saya nggak menyahut panggilan sebelumnya. Ketakutan yang bikin saya jadi nggak bisa konsentrasi, walau cuma sekedar bilang iya.

Saya lupa kapan awalnya, tapi pastinya... sebelum pemeriksaan itu, udah beberapa lama juga saya merasakan sesekali nyeri di dada (read: PD). Biasanya memang nggak lama setelah saya makan. Pikiran saya tiap kali nyeri itu tiba, selalu terlintas pertanyaan, jangan-jangan kanker.

Periksa, ini pasti yang disarankan tiap kali saya cerita tentang ini ke orang-orang terdekat. Hanya sekedar periksa kalau buat saya tentu hal yang gampang. Yang bikin saya takut itu mendengar hasilnya. Saya masih belum siap seandainya kata “positif” itulah jawabannya.

Dan ternyata, keputusan untuk “biarin aja” itu nggak gampang juga. Tiap kali nyeri itu datang, ingatan akan breast cancer itu ya kembali datang juga. Kembali terlintas saran beberapa orang, daripada menduga-duga ya mending diperiksa aja.

Saya nggak tau juga kenapa sampai akhirnya saya siap untuk periksa. Malah waktu itu, saya nggak berdoa biar hasilnya negatif, tapi saya minta dikasih kekuatan seandainya kata positiflah yang saya terima. Saya minta diberi kesembuhan seandainya memang kena.   

Kala itu, kartu BPJS gratis (apa ya namanya?) saya udah jadi. Saya jadi makin terpikir untuk periksa, mumpung bisa gratis. Dan prosedurnya itu, saya harus minta rujukan dulu di puskesmas. Iya diperiksa juga sama bu dokter puskesmas. Setengah lega ketika bu dokter itu mengatakan nggak ada benjolan apa-apa. Karena kalau breast cancer itu ada benjolan. Tapi sama beliau tetap dikasih rujukan untuk pemeriksaan lebih lanjut ke rumah-sakit.

Saya membuka pintu ruang poli kanker  sebuah rumah-sakit di daerah Rawamangun itu. Eh saya lupa nama pastinya ruangan itu, maksudnya nama istilah kedokterannya, cuma ya pemeriksaannya saya diarahkan ke ruang itu. Ada seorang dokter spesialis laki-laki, serta seorang asisten dokter perempuan. Di hadapan dokter itu saya jelaskan tentang nyeri itu.

“Tiap habis makan ya? Biasanya sih itu cuma alergi MSG dan bahan pengawet. Tapi periksa lagi aja ya,” kata pak dokter sambil meminta asistennya untuk periksa.

Pemeriksaan sama mba dokter asisten ini lebih detail dari bu dokter puskesmas. Selesai, lalu saya pun kembali duduk di hadapan pak dokter. Dan ini wejangan dari beliau...

“Hasilnya negatif ya. Itu hanya alergi MSG dan bahan pengawet. Tiap tubuh orang beda-beda penerimaannya. Dan mulai sekarang, hindari makanan dan minuman yang mengandung MSG dan bahan pengawet.”

Oh ya, alergi MSG itu macem-macem, nggak cuma nyeri. Ada yang kepalanya langsung pusing, dan temen saya malah ada yang langsung muntah.

Memasak Bukan Lagi Perkara Enak, Membawa Bekal Bukan Lagi Perkara Ingin

Sejak itu, memasak bukan lagi perkara enak atau tidak, tapi harus bisa diterima tubuh dengan baik. Kami memang udah lama nggak menggunakan MSG, namun untuk masakan tertentu masih menggunakan penyedap rasa. Selanjutnya kami udah enggak menggunakan lagi semua itu.

Sejak itu juga, membawa bekal makan siang bukan lagi perkara ingin atau tidak, tapi menjadi sebuah keharusan. Kadang kalau kerja sampai malam, saya bawa dua kotak makan.

“Kalau Miss Nita mah mana pernah beli nasi.”
“Bawa bekal tiap hari biar irit ya, Miss, heheheh...”
“Di warteg yang gue biasa beli, nggak mahal kok, Miss. Beli di sana aja daripada repot-repot masak dan bawa-bawa.”

Hahaha... kalimat-kalimat semacam ini mah udah nggak kehitung dari mulut teman kerja yang kurang kerjaan. Bodo amat. Saya yang tau alasannya dan enggak perlu dijelaskan, tapi ya perlu dibalas juga, biar lebih seru, haha...

“Kalau Miss Nita mah mana pernah beli nasi.” “He’eh... gue mah beli beras, bukan beli nasi.”
“Bawa bekal tiap hari biar irit ya, Miss, heheheh...” “Yoyoyyy... makanya gue kelayapan mulu. Duit gue banyaaakkk... Masuk terus tapi keluarnya dikit.”
“Di warteg yang gue biasa beli, nggak mahal kok, Miss. Beli di sana aja daripada repot-repot masak dan bawa-bawa.” “Warteg favorit lo jual masakan kayak gini, nggak? Gue nggak bisa makan sayur tiga ribuan.”

Oke, ini jawaban seriusnya. Dear friends, saya pun juga pingin kalau sampai saat ini, tubuh saya bisa nerima semua (bahan) makanan seperti kalian. Tapi kondisinya kan nggak begitu. Memasak dan membawa bekal memang lebih merepotkan, dan lagi modalnya jauh lebih mahal ketimbang beli nasi dengan sayur tiga ribuan. Tapi inilah yang bisa diterima tubuh saya.

Saya Masih Wisata Kuliner

Saya pun nggak sedisiplin itu. Saya masih makan mie instant tapi dibatasi minimal seminggu sekali. Pernah ada yang nawarin,
“Mau makan mie, nggak, Nit?”
 “Yah, dua hari yang lalu gue udah makan mie.”
“Lahhh... udah kemana-mana itu, mah...”
Hahaha... ya gitu deh.

Dan saya pun masih wisata kulineran. Biasanya lebih milih resto Jepang karena nggak gurih-gurih amat. Ini pun nggak boleh tiap hari juga, Lagian tiap hari makan di restoran mulu duitnya nggak cukup, haha...

Pernah waktu itu temen ngajakin, “Makan di warteg itu yuk, Nit. Makanannya enak-enak.”
Trus saya jawabnya gini, “Yah gue nggak bisa makan di warteg.”
“Ih, belagu amat sih, lu,” balas dia sinis.

Hahahah... iya, saya yang salah ngasih jawabannya. Eh ini maaf ya, sekali lagi saya nggak bilang kalau MSG, penyedap rasa, makanan warteg atau sidewalk itu buruk ya. Cuma nggak bisa diterima tubuh saya aja.

Saya Makin Senang Utak-Atik Masakan

Dulu saya pikir, nyeri ini suatu penyakit. Tapi sekarang buat saya malah untung, saya jadi punya alarm untuk apa yang boleh dan nggak boleh saya makan. Daripada nerima semua trus tau-tau sakit.

Dengan enggak bisa makan apa aja, saya jadi makin seneng masak dan utak-atik resep masakan. Kalau pingin gorengan, besoknya saya bikin. Pingin cilok, seblak, dan jajanan lewat lainnya, ya bikin. Kalau nggak tau resepnya, ya googling, baca buku masak, atau tanya-tanya. Susah bikinnya, ya udah nggak usah makan, haha... Tapi masih sering jajan juga kok.

Memasak tanpa MSG atau penyedap rasa, saya jadi makin belajar mengolah bumbu. Trus saya suruh penghuni rumah ini cobain. Kalau mereka udah bilang pas, baru resepnya saya tulis.

Semoga Kita Semua Disehatkan...

Dan tentunya, saya selalu mendoakan siapapun itu para cancer survivors, khususnya breast cancer survivors. Semoga kalian diberi kesembuhan dan makin disabarkan melewati prosesnya. Bagi yang perjuangannya telah selesai, semoga surga Allah terbuka untuk mereka, dan kita semua nantinya.

Mari kita terus menjaga pola hidup sehat sebisa mungkin. Semoga kita semua selalu disehatkan. 

Makasih ya udah baca...