Marandang Hari Rayo – Tradisi Memasak Rendang untuk Menyambut Hari Raya

Food is not just about the taste, but also the moment. Begitupun dengan moment Marandang Hari Rayo, yang saya lewati dari masa ke masa. Begini ceritanya...

 


Apa kabar, teman-teman?


Marandang Hari Rayo merupakan tradisi memasak rendang bagi orang Minang, saat menyambut hari raya. Biasanya rendang akan dimasak dalam porsi yang banyak – tergantung kebutuhan juga tentunya, untuk disantap bersama keluarga, maupun sebagai hantaran atau kiriman untuk orang-orang tercinta.


Bagi orang Minang, rendang bisa dibilang bagian dari adat. Tapi, nggak cuma saat perayaan adat aja. Ketika merayakan hari raya pun, rendang juga turut disajikan.


Pada post ini, saya pingin berbagi cerita tentang memasak rendang, yang saya lewati dari masa ke masa. Mulai dari semasa kecil di rumah nenek dulu, hingga kali kedua saya merayakan lebaran di kampung ini.

 


Rendang dan Kuliner Hari Raya di Rumah Nenek Dulu



Sejak kecil saya tinggal bersama almarhumah nenek di Jakarta. Jadi menahun lamanya, saya berlebaran di ibukota terus, karena kami nggak punya tradisi mudik – walau orang tua saya di kampung.


“Kok gitu, Nit?”


“Ya gitu...”


Haha...


Sejak remaja, saya udah mulai diminta nenek untuk bantuin masak-masak buat lebaran. Yang pertama kali dimasak tentunya rendang, karena prosesnya yang terbilang lama. Udah gitu, nenek kalau masak rendang itu banyaaakkk sekali.


Dulu nenek berdagang. Jadi memasak rendang lebaran itu kadang dimulai sejak seminggu sebelumnya. Karena masaknya dicicil saat malam dan abis Shubuh. Tentu saya kagak bantuin masak rendang Shubuh-Shubuh, haha...


Biasanya nenek pesan, misalnya kayak ngupas bawang, kerik jahe, atau potong-potong lengkuas. Jadi saat malam tiba, nenek udah tinggal masak aja. Setelah nenek pensiun dagang, masak rendangnya sih biasanya H-3 lebaran.


Memasak rendang jaman nenek itu, terbilang repotnya minta ampun. Sampe dulu saya bilang sama Allah. Saya nggak mau ah punya laki orang Minang, nanti kalau mertua datang harus dimasakin rendang, hahahah...


Dulu itu semuanya serba tradisional. Mulai dari memarut kelapa, kemudian memeras santan. Kalau daging 1 kilo aja bisa menghabiskan 3 kelapa, apalagi kalau memasak let’s say 3 kilo, hahah...


Saya juga bantuin marut kelapa, tapi nggak semua. Kalau memeras santan, itu nenek yang kerjakan langsung.


Puncak dari segala kerepotan itu adalah saat H-1 lebaran. Kuliner khas Minang lainnya, macam kalio hati, sop tulang, gulai baga, gulai korma, hingga sayurannya gado-gado padang, ini satu persatu dimasak.


Nenek memang nggak masak ketupat sayur, tapi ketupat ketan yang dimakan dengan tapai. Oh ya, tapai ini dibuatnya juga kisaran H-3, biar kuahnya banjir dan rasa asamnya pun keluar.


Tibalah hari raya, satu persatu sanak saudara yang terbilang keponakan dan cucu-cucu pun berdatangan. Bagi yang masih muda-muda, masakan nenek tentu bisa menjadi pengobat rindu akan masakan ibu mereka di kampung.

 


Rendang dan Kuliner Hari Raya Kami yang Akulturasi



Setelah nenek nggak ada, tamu yang seabreg-abreg itu pun udah nggak ada lagi. Palingan keluarga inti kami 1 nenek aja, kemudian sanak saudara yang terbilang sangat dekat dan rumahnya pun dekat.


Tante saya tetap memasak rendang, tapi cuma sedikit. Sekedar untuk makan siang, malam, dan besoknya. Memasaknya pun juga udah lebih simple, karena tante selalu membeli santan peras.


Entah sejak lebaran kapan, kami mulai menyiapkan ketupat sayur sebagai salah satu menu lebaran. Terlebih untuk sarapan sepulang sholat Eid. Karena tinggal di lingkungan Betawi juga, kami jadi terbiasa dengan ketupat sayur godog betawi. Saat lebaran pun, sayur godog betawi lah yang selalu kami buat. Kalau ketupatnya sih beli.


Terkadang kalau ada yang PO Semur Betawi, tante juga suka ikutan beli, sebagai pelengkap untuk menyantap ketupat sayur godog. Ya, pokoknya sejak itu, menu lebaran kami merupakan akulturasi masakan Betawi dan Minang.


Lalu ketika saya udah mulai senang masak-masak, menu lebaran juga saya lengkapi dengan puding-puding yang tiap lebaran nggak boleh sama. Cemilan manis lainnya, biasanya tante bikin kolang kaling.


Menu lebaran kami memang lebih simple, begitupun dengan porsinya.

 


Rendang dan Lebaran Paling Sederhana Dikala Pandemi


Pandemi di tahun kedua, saya memutuskan untuk mengontrak sendiri. Kala itu saya sembari berjualan rendang frozen dll juga. Jadi sembari masak pesanan, saya sisakan rendang ½ kilo untuk lebaran.


Jadi ceritanya, saya dan adek mau mudik lebaran. Eh ternyata bandaranya ditutup, haha... Jadinya nggak bisa mudik deh. Beruntung adek saya tinggalnya masih di area Jakarta perbatasan Tangerang. Jadi masih bisa untuk berlebaran ke kontrakan saya tinggal.


Saya pesan sedikit ketupat, kemudian masak gado-gado padang. Inilah lebaran teramat sederhana, yang saya lewati bersama adek dan adek ipar. Setelah lebaran, barulah kami mudik, haha...

 


Rendang dan Berlebaran di Kampung Ini



Ini merupakan tahun kedua, saya berlebaran di kampung. Ibu saya memasak rendangnya pake kayu bakar. Selain hemat gas, rendang yang dimasak menggunakan kayu bakar ini terasa lebih wangi, dan tentunya bisa lebih awet.


So far saya masih belum bisa memasak menggunakan kayu bakar. Selain kulitnya nggak sanggup, matanya juga perih banget kalau kena asap, haha... Jadi saya cuma bantuin siapin ini itu aja sebelum dimasak.


Selain itu, kami juga memasak kalio daging dan sup tulang. Tahun ini puding saya gagal, haha... Karena tadinya mau bikin puding layer, eh gara-gara nggak sabar, bleber lah tuh puding.


Di rumah ini pula kembali saya merasakan suasana open house kayak di rumah nenek dulu.

 


Lebaran selanjutnya, entah saya menolong memasak rendang lagi, atau mungkin saya memasak sendiri. Who knows, kembali pada takdir Allah akan membawa saya ke mana. Yang pasti saya kangen mudik, hahah... Saya kangen repot-repot packing dan geret-geret koper di bandara.


Gimana dengan cerita lebaran, teman-teman? Adakah kuliner favorit yang begitu melekat di hati? Moga lebaran kita meninggalkan kesan yang indah, hingga bertemu dengan lebaran di tahun depan. Aamiin.


Walau telat, tapi izinkan saya mengucapkan:


Selamat Hari Raya Idul Fitri. Salam Barayo dari Minangkabau.


Makasih banyak ya, yang udah menjadikan resep masakan dan rekomendasi jajanan di blog ini, sebagai bagian dari menu Ramadan dan lebaran teman-teman. Makasih banyak udah mampir. 

No comments:

Post a Comment

Hai, temans... Makasih banyak ya udah mampir. Semua komen lewat jalur moderasi dulu ya :D Don't call me "mak" or "bund", coz I'm not emak-emak or bunda-bunda :P