Menggulai Ayam, Sebuah Fiksi Kuliner

Tentang cara memasak gulai ayam padang yang dihidangkan dalam cerita fiksi. Cerita dan resep original milik saya. Ilustrasi dibantu oleh Gemini. Tulisan ini saya persembahkan untuk Mba Nurul Sufitri dari nurulsufitri.com. Selamat membaca, teman-teman.



“Nit, aku besok bakalan punya banyak waktu luang, nih…”


Sebuah pesan WhatsApp masuk dalam notifikasi handphone Nita. Segera ia memalingkan matanya dari layar laptop, untuk lanjut membaca pesan yang ternyata dikirimkan oleh Mba Nurul.


“Suamiku besok pagi mau berangat dinas keluar kota. Trus Fakhri juga lagi ada field trip nih, ke Bali 5 hari. Udah berangkat dari kemarin.”


Senyum-senyum Nita membacanya. Sebuah ide pun tiba-tiba terlintas di benaknya. Segera ia membalasnya, “Kalau gitu Mba Nurul liburan ke Sumbar ini aja yuk?”


“Wow… “ Balas Mba Nurul sembari menyematkan emotikon terbahak.


Nita memang serius dengan tawarannya. Segera ia meminta Mba Nurul untuk meminta izin pada suaminya. Bila telah diizinkan, Nita akan meminta asistennya mengurus tiket pulang-pergi CGK – PDG untuk Mba Nurul.

 


Nurul Sufitri, seorang penulis yang biasa Nita sapa dengan panggilan Mba Nurul. Sudah cukup lama Nita mengenalnya, tentunya dalam dunia kepenulisan yang juga ia geluti hingga sekarang. Jakarta yang mempertemukan mereka, kemudian menjadi sahabat karib yang terus terjalin hingga sekarang, walau Nita sudah tidak lagi menetap di ibu kota.


Hampir 5 tahun sudah Nita menetap di kampung halamannya, Ranah Minang ini. Artinya, selama itu pula Nita tak pernah lagi berjumpa dengan Mba Nurul. Namun bukan berarti persahabatan di antara keduanya pun melenyap. Setiap harinya, selalu ada saja kabar di antara mereka berdua. Termasuk ketika Mba Nurul bercerita, bahwa ia akan memiliki banyak waktu luang esok hari.


Kalau memang kesempatannya ada, kenapa nggak aku undang Mba Nurul ke rumah ini, pikir Nita sembari menanti jawaban Mba Nurul. Moga suami Mba Nurul mengizinkan, lanjut ia bergumam.


Yang dinanti pun datang. Sebuah pesan dari Mba Nurul yang mengabarkan, bahwa ia telah diizinkan oleh suaminya. Namun kembali Mba Nurul bertanya, apa dirinya tidak akan merepotkan Nita. Mengingat harga tiket CGK – PDG tidaklah terbilang murah.


“Tenang aja!” Balas Nita sembari memberikan emotikon tertawa.


Nita segera meminta asistennya untuk meminta data diri Mba Nurul. Beruntunglah tiket pulang pergi untuk Mba Nurul telah beres dipesan asistennya. Tak sabar rasanya bagi Nita, untuk menantikan kedatangan Mba Nurul esok hari.


***


Pagi di Ranah Minang. Selepas Subuh, Nita langsung menggoreng beberapa sala lauak yang adonannya ia simpan di kulkas. Adonan bola-bola ikan teri itu pun satu persatu menggelinding di dalam kuali. Tak lupa ia berpesan pada asistennya untuk menggorengkan juga, saat Mba Nurul tiba nanti. Sala lauak garing nan gurih pedas, Nita yakin, Mba Nurul akan senang menyantapnya.


Secangkir kopi hangat turut melengkapi sarapan ringan ala Nita pagi ini. Memang ia sengaja, karena nanti sepulang dari bandara, akan menikmati ketupat pical berdua dengan Mba Nurul. Nita juga sudah berpesan pada asistennya, untuk menyiapkannya nanti. Ketupat pical langganan Nita dari sebuah kedai sarapan yang tak jauh dari rumahnya.


Di muka rumah, raungan suara mesin mobil sudah terdengar. Supir pribadinya sedang memanaskan mobil yang akan membawanya menjemput Mba Nurul di bandara. Perjalanan dari rumah Nita yang berada di sebuah kampung di Padang Pariaman, memang tidak begitu jauh menuju Bandara Internasional Minangkabau atau BIM.



Kedatangan Nita di BIM, bersamaan dengan pesawat yang dinaiki Mba Nurul baru saja mendarat. Jadi ia hanya menunggu sesaat, menantikan Mba Nurul keluar dari dalam ruangan.


Welcome to Ranah Minang, Mba Nurul,” pekik Nita sembari berpelukan erat.


“Alhamdulillah, sampe juga akhirnya aku di Sumbar,” balas Mba Nurul tak kalah sumringah.


Segera Nita menggandeng Mba Nurul menuju mobilnya yang terparkir. Pagi itu, rombongan umroh memang meramaikan BIM. Jadi agak susah juga supirnya untuk memarkir mobil.


“Gimana perjalanannya tadi? Pagi-pagi banget dong ya dari rumah?” Lanjut Nita sembari melangkah.


“Iya pastinya, biar nggak kena macet, Ya tau sendiri deh Jakarta. Eh ngomong-ngomong makasih banyak lho, Nit. Aku udah ditraktir naik pesawat. Emang luar biasa deh, Nita…” balas Mba Nurul sembari merangkul Nita.


“Ah, cuma segitu doang kok…”


Tiba juga akhirnya mereka berdua di depan mobil Nita. Supirnya terheran melihat Mba Nurul yang tiba dengan melenggang saja, tanpa membawa koper atau tas jinjing apapun. Hanya berselempangkan tas kecil saja, macam orang mau ke mall.


“Maaf, apa tidak ada koper, Bu?” Supirnya memberanikan diri bertanya.


“Tidak, Pak,” timpal Nita cepat. “Hari ini langsung pulang kok pakai pesawat sore.”


Makin terheranlah pak supir.


***


Dalam perjalanan pulang, Mba Nurul menghabiskan waktu dengan menikmati suasana di kanan dan kiri jalan. “Di sini cukup lengang juga ya, Nit. Padahal kan masih jam kantor juga,” ucap Mba Nurul.


“Iya beginilah. Kalaupun rame, ya rame lancar gitu, nggak sepadat kayak di Jakarta yang napas aja susah ya, hahaha…”


Pada ruas jalan selanjutnya, hati Mba Nurul pun bertanya-tanya, akan beberapa rumah makan yang ia tahu bahwa itu merupakan rumah makan padang. Namun ia dibuat heran, mengapa sepanjang rumah makan yang ia lihat, ridak ada satupun yang bertuliskan nasi padang.


“Nasi padang cuma ada di daerah rantau luar Sumbar. Kalau di sini disebutnya Ampera. Misalnya…”


“Ampera Uni Nita?” Celetuk Mba Nurul sembari terbahak.


“Aamiin, moga nanti bisa buka rumah makan juga ya di sini…” Balas Nita tak kalah terbahak.


Lalu yang makin membuat Mba Nurul terkesima adalah ketika matanya menangkap deretan bangunan yang terlihat kekinian, namun dipadukan dengan atap bagonjong khas rumah adat Minangkabau. Betapa di Ranah Minang, adat dan budaya terlihat masih tetap dilestarikan oleh generasi penerusnya, Tebak Mba Nurul dalam hati.


Tak terasa, mereka pun telah tiba di depan rumah

.

***

Asisten membukakan pintu, lalu mempersilakan Nita dan Mba Nurul untuk langsung ke meja makan saja. Di atas meja, rupanya sudah terhidang dua piring ketupat pical dan dua cangkir teh manis.


Sembari beristirahat, kedua sahabat itu mulai menyantap sarapannya. Ketupat pical yang biasa Mba Nurul hanya melihatnya melalui foto-foto Nita di akun media sosialnya, pagi ini dapat ia mencicipinya langsung. Maklum di Jakarta, sulit untuk menemukan kuliner yang satu ini.


Selesai sudah mereka sarapan. Setelah beristirahat sebentar, mereka pun akan segera memulai agenda hari ini, yaitu memasak gulai ayam!


Walau Nita tahu bahwa Mba Nurul juga lihai memasaknya, namun sensasi memasak gulai ayam hari ini tentu berbeda. Mba Nurul akan diajak untuk memasaknya secara tradisional, mulai dari menangkap ayamnya!


Nita mengajak Mba Nurul menuju peternakan ayam miliknya. Di sana, terlihat sebuah mobil pick up yang bertuliskan nama rumah makan. Bapak petugas kandang pun terlihat sibuk menaikkan beberapa ekor ayam ke atas mobil.



"Masya Allah, Nit. Banyak banget ayamnya. Pantas Nita duitnya banyak ya, hahaha..." Ledek Mba Nurul.


"Ah, orang lain ada kok yang lebih banyak. Segini mah belum seberapa. Ya lumayan deh buat penyambung hidup di kampung, hahaha..." Jawab Nita.


Kemudian bapak penjaga kandang pun menangkap seekor ayam untuk dipotong. Dibersihkan bulu serta kotorannya. Selesai, diberikanlah daging ayam tersebut pada Nita.


Lanjut Nita mengajak Mba Nurul menuju perkebunan rempah miliknya. Di sana, Nita menanam berbagai bumbu yang diperlukannya untuk memasak. Selebihnya, juga ada orang-orang yang ingin membelinya, baik pemilik kedai sayur maupun tetangga kampung.



Nita mengajak Mba Nurul untuk memetik bumbu dan dedaunan yang diperlukan untuk memasak gulai ayam.


Beres dari kebun, perjalanan terakhir adalah menuju perkebunan buah. Tuannya pun segera mengarahkan Barry, si baruak untuk memanjat pohon kelapa dan mengambilkan sebuah kelapa tua.



"Dia bisa bedain gitu, Nit? Mana kelapa tua atau muda?" Mba Nurul nampak begitu heran.


"Oh iya dong. Si Barry mah emang udah terlatih," balas Nita.


Penjaga kebun membantu untuk mengupas serabut kelapa, membelahnya, kemudian mengukur kelapa hingga menjadi kelapa parut. Lengkap sudah semua bahan yang diperlukan untuk memasak gulai ayam. Nita mengajak Mba Nurul untuk kembali ke dalam rumah.


***


Panas yang terasa di luar ruangan, berganti dengan sejuknya AC di dalam dapur. Segera Nita mencuci ayam,  kemudian memotongnya menjadi 8 bagian.


Asistennya juga turut membantu memeras kelapa dengan sejumlah air, hingga menjadi santan sebanyak 1 liter dari sebuah kelapa tua yang diambilkan Barry tadi.


Kemudian Mba Nurul juga menyiapkan bumbu-bumbu yang diperlukan, mulai dari bawang merah sebanyak 8 siung, bawang putih 3 siung, 1/2 ruas jahe, 1/2 ruas kunyit, serta 1/2 sdt lada dan 1 sdt ketumbar.


Saat memasak gulai, Nita memang tidak menggunakan rempah kering yang lebih lengkap seperti untuk rendang. Hanya menggunakan lada dan ketumbar, untuk menghasilkan rasa gulai yang lebih ringan.


Karena masih memiliki stok cabai giling, Nita tinggal mengambilnya sebanyak 2 sendok saja. Nantinya akan dicampurkan dengan 20 buah cabe rawit hijau yang digiling kasar.


Terakhir, disiapkan juga 8 lembar daun jeruk, 1 lembar daun kunyit yang disobek kasar, 1 batang serai yang dimemarkan, 1 ruas lengkuas yang juga dimemarkan, serta 1 keping asam kandis. Tak lupa dilengkapi dengan 1 sdt garam dan 1/2 sdt kaldu bubuk.


Setelah semua bahan lengkap, Nita mengajak Mba Nurul menuju dapur lainnya yang berada di luar ruangan. Sebuah pondokan yang terdapat tungku perapian di dalamnya. Kemudian juga ada meja dan kursi panjang untuk Mba Nurul menyaksikan cooking show ala Nita. Makanya, walau memasak gulai ayam ini bisa saja dilakukan di dalam dapur mewahnya, namun Nita ingin menunjukkan pada Mba Nurul, memasak gulai ayam secara tradisional.


Asistennya turut membantu membawakan bahan-bahan yang diperlukan. Tak lama kemudian, ia kembali datang membawa 2 gelas es jeruk serta sepiring sala lauak.



Nita mulai menyalakan perapian. Kuali besi pun dinaikkan di atasnya. Kemudian dituangkannya santan, cabai giling, cabai rawit, bumbu rempah, dan dedaunan (daun jeruk, daun kunyit, serai, lengkuas). Kuah santan pun sering-sering ia aduk, hingga mendidih. Adakalanya Nita terlupa mengaduknya. Kuah gulai pun menjadi pecah santan atau santannya itu terlihat menggumpal-gumpal. Tentu tampilannya jadi tidak menarik lagi.


Nita terus memasak kuah gulai hingga benar-benar mendidih, agar nantinya menyatu antara santan dan airnya. Barulah potongan ayam ia dimasukkan satu persatu.


"Aku jadi penonton Chef Nita masak aja nih, hahaha…" kata Mba Nurul sembari menikmati sala lauaknya.


Empat puluh menit sudah waktu berlalu. Lima menit lagi gulai ayam masakannya akan matang, Nita memasukkan sekeping asam kandis, garam, dan kaldu bubuk.


Sesekali Nita mengaduknya, diselingi mengobrol dengan Mba Nurul. Memang setelah ayam dimasukkan ini, ia tak perlu terlalu sering mengaduknya. Hingga matang sempurna lah gulai ayam yang Nita masak. Adakalanya ia memasak gulai ayam ini hanya 30 menit lamanya. Bila potongan ayam dibuat lebih kecil-kecil, karena akan dihidangkan bersama lauk lainnya saat di rumahnya sedang ada acara.


***


Gulai ayam yang masih panas, dibawa Nita dengan sangat hati-hati. Mereka beristirahat sejenak di meja makan. Nita meletakkan gulai ayam buatannya di tengah meja. Dua piring nasi yang masih mengepul, juga baru saja diletakkan asistennya. Menu makan siang ini juga dilengkapi dengan lalapan daun singkong lengkap, serta semangkok sambalado hijau yang bersiramkan minyak kelapa.



Nita mempersilakan tamu spesialnya untuk mengambil terlebih dahulu. Mba Nurul memilih potongan paha, menyiramkan kuah gulai beberapa sendok ke atas nasinya, kemudian juga mencomot sedikit lalapan, serta meletakkan sesendok sambalado hijau di atasnya.


Daging ayam yang terasa lembut sekali, Mba Nurul mulai mencubitnya. “Hmm… ini kuah gulainya memang terasa lebih gurih dan segar gitu ya, Nit. Kuahnya juga terlihat lebih kental. Trus pedasnya juga berasa kok. Mantap deh emang masakannya Chef Nita,” puji Mba Nurul sembari menikmati masakannya.


“Hahaha… Memang Sumbar ini kan terkenal akan surganya kelapa. Kualitas kelapanya itu memang bisa bikin masakan jadi lebih kental, gurih, dan berminyak. Makanya kuliner Minang itu lebih banyak yang bersantan,” Nita menjelaskan.


Tak lupa Nita melengkapi ceritanya, bahwa selain kualitas santan, penggunaan cabai giling di Sumbar ini juga terbilang berbeda. Cabainya itu memiliki rasa yang lebih pedas. Tak lupa dilengkapi pula dengan rempah-rempah segar hasil memetik langsung.


Mba Nurul mengangguk-anggup menyimaknya. Kedua sahabat itu menikmati makan siangnya sembari mengobrolkan apa saja yang terlintas.


***


Selesai mengizinkan Mba Nurul untuk istirahat siang, Nita kembali mengajak Mba Nurul melihat peternakan sapi dan kolam ikan nila miliknya. Memang semuanya tak begitu besar, namun setidaknya melengkapi apa yang ingin Nita masak, serta dapat sedikit dijadikan cuan sebagai pengganti bisnis restoran online-nya di Jakarta.


Tak terasa hari sudah menjelang sore. Supir pribadi Nita sudah selesai memanaskan mobil. Mereka kembali menuju bandara untuk mengantar Mba Nurul kembali ke Jakarta. Sebagai buah tangan, Nita menyematkan sekardus kerupuk sanjai.



“Tiketnya udah kan ya, Mba Nurul?” Nita mengingatkan.


“Oh iya udah. Sekali lagi makasih banyak ya, Nit. Moga Nita makin banyak rezekinya. Aku nunggu Nita main ke rumah aku lagi, lho, kalau nanti lagi nggak sibuk ya,” balas Mba Nurul.


Keduanya berangkulan erat sekali dan ditutup dengan lambaian tangan. Mba Nurul mulai mengantri masuk ke dalam bandara.


***

No comments:

Post a Comment

Hai temans, makasih banyak ya udah meluangkan waktu untuk mampir. Semua komen dimoderasi dulu ya. Jangan lupa untuk mampir pada postingan lainnya.