Dari Dapur Komunitas yang Sunyi: Mengukur Dampak Perubahan Gizi di Curug Mekar

Di tengah hiruk pikuk Kecamatan Bogor Barat, tepatnya di sudut Kelurahan Curug Mekar, berdiri sebuah inisiatif yang bekerja jauh dari gemerlap perhatian publik. Satuan Pelayanan Penyedia Gizi Gratis (SPPG) Sedap Malam Curug Mekar 02 merupakan sebuah dapur komunitas yang dipimpin oleh Ibu Ririn Jamiati -- di bawah naungan Yayasan ABC HA-IPB. Di sinilah, setiap pagi rutinitas memasak sederhana, perlahan menorehkan perubahan besar yang kini mulai disadari.

 


Apa kabar, teman-teman?

Saat matahari terbit, ruangan di SPPG sudah dipenuhi oleh aroma masakan yang menenangkan. Campuran rempah dan bahan segar yang segera siap diolah. Para relawan beraksi dengan efisien, saling berbagi tugas berdasarkan daftar menu harian yang telah direncanakan matang. Mereka bukan sekadar memasak; mereka meramu Makanan Bergizi Gratis yang ditujukan khusus bagi tiga kelompok rentan: Ibu Hamil (Bumil), Ibu Menyusui (Busui), dan Balita.

Filosofi di balik dapur ini sangat mendasar: makanan haruslah sederhana, bergizi, dan lezat. Menu yang disajikan nggak pernah rumit atau mewah, tetapi selalu disiapkan dengan perhatian penuh pada variasi, komposisi gizi, dan yang terpenting, cita rasa yang akrab di lidah para penyantapnya. Dari kegiatan harian yang konsisten inilah, muncul cerita-cerita kecil yang mulai membentuk sebuah pola baru yang menjanjikan.

 

Kisah Ibu Aas dan Perjuangan di Meja Makan

Dampak dari rutinitas ini paling terasa di tingkat keluarga. Ibu Aas, salah satu ibu penerima manfaat, merupakan saksi hidup dari perubahan tersebut. Anaknya dikenal sebagai anak yang sangat pemilih makanan (picky eater), sebuah tantangan umum yang sering dihadapi oleh banyak orang tua. Ibu Aas menceritakan bagaimana putranya mulai menunjukkan ketertarikan yang nggak biasa pada menu yang ia bawa pulang dari SPPG beberapa hari lalu.

"Saya kira itu cuma kebetulan, mungkin dia lagi lapar," kenangnya. Namun, setelah beberapa kali terjadi, ketika anaknya dengan antusias meminta menu yang sama atau justru mencoba makanan baru yang ia tolak sebelumnya,

Ibu Aas menyadari adanya pergeseran. "Bukan perubahan yang besar atau drastis, tapi ini adalah langkah yang sangat berarti. Melihat anak saya mulai terbuka pada makanan baru memberi harapan besar bagi kebiasaan makan di rumah," tambahnya.

Fenomena ini nggak cuma dirasakan oleh Ibu Aas. Para relawan SPPG juga melihat perkembangan yang serupa. Mereka mengamati dinamika yang mereka sebut "ritme kecil" saat anak-anak berinteraksi dengan makanan. Ada anak yang awalnya ragu dan penasaran, ada yang langsung jatuh cinta, dan ada pula yang membutuhkan waktu beberapa kali coba sebelum lidahnya terbiasa. Semua ini terjadi secara organik, jauh dari nuansa edukasi atau paksaan yang kaku. Lingkungan yang hangat dan konsistensi menu SPPG menciptakan zona nyaman di mana eksplorasi rasa dapat terjadi secara alami.

 

Konsistensi Mengalahkan Kampanye Besar

Yang paling menarik dari model SPPG Curug Mekar ini adalah bagaimana perubahan substansial ini terjadi tanpa adanya kampanye besar, acara formal, atau slogan-slogan yang digembar-gemborkan. Kekuatan utama mereka adalah konsistensi kegiatan memasak setiap hari dan hubungan personal yang kuat dan hangat antara para relawan dengan keluarga yang mereka layani.

Kegiatan mereka mungkin terlihat biasa saja jika dilihat dari luar, tetapi dampak yang ditimbulkannya terukur dan nyata di rumah masing-masing. Kebiasaan makan keluarga perlahan bergeser ke arah yang lebih positif. Ibu-ibu merasa lebih termotivasi dan percaya diri untuk menyajikan variasi menu di dapur mereka sendiri, meniru apa yang mereka dapatkan dari SPPG. Anak-anak menjadi lebih terbuka untuk mencoba makanan baru, mengurangi kecenderungan picky eating.

Dapur pelayanan di Curug Mekar ini telah bertransformasi menjadi inkubator perubahan, tempat di mana harapan gizi tumbuh dengan tenang, tanpa banyak suara. Sinyal positif ini, meskipun belum mencolok di mata publik, cukup kuat bagi keluarga yang terlibat.

Seorang relawan merangkum perjalanan sunyi namun berdampak ini dengan kalimat yang penuh makna:

"Perubahan kecil ini sebenarnya udah lama terasa, hanya saja baru sekarang kami secara kolektif menyadarinya sebagai sebuah dampak nyata dan berkelanjutan."