Segelas nira hangat merupakan simbol perjalanan panjang pohon aren di Jorong Tabek. Kekayaan alam yang sempat terabaikan karena nyaris tak bernilai jual. Titik balik hadir melalui harmoni gotong royong bersama Astra. Sinergi ini perlahan memutar roda ekonomi yang sebelumnya tertatih. Di pagi menjelang siang itu, sang kekayaan alam pun diperkenalkan kepada kami sebagai minuman selamat datang. Hangat dan manisnya air nira terangkum indah, sepulang dari kunjungan kami ke KBA Tabek, Talang Babungo.
"Bapak-Ibu, ini
ada minuman air nira. Silakan dicoba," ucap salah seorang Bundo Kanduang menyapa kami.
Saya turut berjalan, menuju
meja tempat Bundo Kanduang menyajikan
minuman dalam mini dispenser. Saat mencicipinya, saya terkesima. Maklum saat
itu menjadi kali pertama bagi saya. Air nira hangat yang berwarna kecokelatan,
tidak hijau segar seperti air tebu. Manisnya terasa alami, lembut menyapa lidah.
Kadar manisnya di bawah air tebu. Walau matahari kian meninggi, udara dingin
Solok menjadikan segelas nira hangat terasa pas untuk dinikmati.
Tentu ada alasan mengapa
para Bundo Kanduang - para Ibu di
Ranah Minang menyuguhkan minuman itu. Di balik kehangatan nira yang kami
nikmati, tersimpan perjalanan panjang pohon aren yang menjadi kekayaan alam di
Talang Babungo, khususnya di Jorong Tabek.
Jorong
Tabek, Desa Kecil dengan Pohon Aren yang Melimpah
Talang Babungo
merupakan sebuah nagari (desa) yang
berada di Kecamatan Hiliran Gumanti, di ujung dataran tinggi Kabupaten Solok,
Sumatera Barat. Sejak dulu, pohon aren memang melimpah di sana. Ada lebih dari
seribu pohon aren yang tumbuh menjulang di tebing-tebing kampung, termasuk di
Tabek – salah satu jorong (desa kecil)
di Talang Babungo.
Dapat dikatakan, tiap
keluarga di Jorong Tabek memiliki perkebunan aren yang dapat dipanen setiap
harinya. Bahkan, pohon aren dapat tumbuh meninggi dengan sendirinya. Bila pohon
liar tersebut tumbuh dalam perkebunan milik seorang warga, maka otomatis akan
menjadi milik orang tersebut.
Pada pohon yang menjulang
hingga 20 meter ini, terdapat nira yang siap disadap. Bila petani menanam pohon
aren hari ini, panen nira dapat dilakukan setelah lima tahun, saat pohon sudah
mulai berbunga. Namun, produksi maksimal terjadi setelah pohon aren tumbuh selama
15 - 20 tahun.
Seringkali udara Solok
dinginnya menembus tulang. Namun, bila waktu panen nira tiba, tak ada petani yang
gentar melawan ketinggian dalam hawa dingin. Dengan menggunakan tangga bambu,
para petani aren di Jorong Tabek tetap akan memanjat puncak pohon., dengan membawa sebilah palu di tangan.
Panen nira merupakan proses
mengambil getah dari tangkai bunga atau mayang jantan. Getah bening yang berisi
kandungan nutrisi dan gula inilah yang kita sebut dengan nira (air nira).
Proses
Manyadok Niro (Menyadap Nira)
Dengan menggunakan palu
yang mereka bawa, petani aren mulai melakukan peningguran (pemukulan). Mereka
akan memilih tandan bunga jantan yang telah matang dan siap disadap, ditandai
dengan bunga yang sudah mulai berguguran atau tercium aroma harum.
Selanjutnya, petani
aren tersebut akan meninggur (memukul) tandan bunga dan pangkal tangkai.
Pukulan cukup dilakukan secara perlahan namun merata, sambil mengayun-ayunkan.
Dalam kurang lebih satu bulan, mereka rutin melakukannya agar tangkai bunga
menjadi lemas, dan sel-sel yang membentuk jaringan aliran nira menjadi pecah.
Waktu untuk proses
penyadapan pun tiba. Para petani aren kembali menaiki pucuk pohon dengan
membawa alat pengiris dan bambu penampung. Awalnya, mereka melakukan pengecekan
terlebih dahulu. Ujung tangkai bunga pun diiris tipis. Jika nira mulai menetes
keluar dengan lancar, artinya tandan telah siap disadap. Pengirisan kembali
dilakukan secara merata, kemudian bambu dipasang untuk menampungnya.
Dari satu batang pohon
aren, biasanya petani dapat menampung nira sebanyak 10-15 liter. Tergantung
dari tingkat kesuburan tanah dan cara merawatnya. Untuk menjaga kualitas,
petani memanen nira dua kali sehari: sore hari (untuk tetesan malam) dan pagi
hari (untuk tetesan siang).
Siklus pengambilan ini penting, karena kandungan gula pada nira dapat memicu fermentasi cepat oleh khamir, jika diambil pada suhu hangat siang hari. Karena itu, mereka harus bertindak cepat agar nira tidak menjadi asam dan masih dapat diolah menjadi gula aren. Untuk menjaga agar nira tidak cepat mengalami fermentasi, para petani aren akan meletakkan pengawet alami berupa kulit kayu manggis atau nangka ke dalam bambu penampung.
Mengolah
Nira Menjadi Gula Aren
Nira yang telah dibawa
pulang harus segera diolah agar rasanya tidak berubah menjadi asam. Untuk
pengolahan dalam jumlah besar, nira yang baru saja diambil, perlu disaring terlebih
dahulu untuk membersihkan ampas. Lalu nira dididihkan hingga warnanya
kecokelatan. Nira yang sudah kecokelatan ini kemudian dapat disimpan atau
nantinya dipanaskan kembali bersama yang baru.
Air nira yang
dididihkan hingga warnanya kecokelatan inilah, yang pagi menjelang siang itu
menjadi minuman selamat datang untuk kami.
Hingga terkumpullah
nira dalam satu kuali baja yang besar. Nira mulai direbus menggunakan api
sedang, sambil diaduk selama kurang lebih 4,5 jam. Ketika sudah mulai mendidih,
akan bermunculan buih-buih. Pengolah gula aren akan membuang buih tersebut,
agar nantinya gula aren yang telah dicetak menjadi cepat mengeras dan hasilnya tidak
kehitaman.
Bentuk tungku serta
besarnya api turut memengaruhi durasi nira akan mengental seperti sirup.
Sebelum dimasukkan ke dalam cetakan, para pengolah gula aren akan melakukan
pengecekan terlebih dahulu. Mereka menyiapkan air dingin yang bersih, lalu meneteskan
nira kental ke dalam air. Bila langsung membeku, artinya telah siap untuk
dicetak.
Selanjutnya, para
pengolah gula aren akan menuang nira kental ini ke dalam cetakan tradisional,
yang terbuat dari bambu atau batok kelapa. Kemudian gula aren dalam cetakan
didiamkan selama satu malam, hingga dingin dan mengeras.
Barulah gula aren dapat
dikemas. Bila pengemasan dilakukan saat masih hangat, nantinya akan lembap dan
mudah berjamur. Dalam 20 liter nira yang dipanen, dapat menghasilkan 3 KG gula
aren.
Mungkin semua terlihat
berjalan lancar. Pohon aren yang merupakan anugerah Tuhan untuk masyarakat
Talang Babungo, dapat menjadi salah satu sumber ekonomi masyarakatnya melalui
kepingan gula aren. Namun kenyataannya tidak demikian. Siapa sangka, dibalik
manisnya gula aren yang tercetak, tersimpan pahitnya kehidupan warga kampung,
termasuk di Jorong Tabek. Kesulitan yang bahkan sudah berlangsung sejak zaman
penjajahan Jepang!
Berawal
dari Kebakaran di Talang Babungo: Sebuah Titik Balik
“Dulu, Jorong Tabek
merupakan (salah satu) kampung termiskin di Sumatera Barat,” ujar Bapak Kasri
Satra, tokoh penggerak KBA Tabek saat berbagi cerita pada kami.
Saat mobil yang membawa
rombongan kecil kami memasuki Talang Babungo, ruas jalan yang kami lewati
memang tidak begitu luas. Namun, jalanan yang telah diaspal menjadikan
perjalanan terasa nyaman. Hingga sebuah panah menunjukkan lokasi KBA Tabek.
Jalanan pun menjadi lebih kecil dan beralaskan tanah, namun sopir tetap lancar
melajukan mobil, hingga berhenti di depan sebuah rumah panggung.
Rombongan kecil kami
turun. Mata saya tertuju pada tulisan besar yang tertera di rumah panggung
tersebut: “Rumah Pintar”. Lalu saya menyapukan pandangan ke sekeliling.
Persawahan, pepohonan, serta deretan bunga yang menjadikan pagi menjelang siang
itu terasa asri sekali. Ditambah lagi, udara Solok yang luar biasa sejuknya.
Siapa sangka, kampung
yang sejuk dan asri itu, ternyata pernah menjadi sebuah kampung yang kumuh,
terbelakang, dan penuh kemiskinan.
Dahulu, Jorong Tabek
merupakan sebuah desa terpencil dengan akses jalan yang rusak. Bahkan sekadar
untuk menjual hasil panen ke Pasar Alahan Panjang -- yang kini hanya menempuh
waktu 20 menit saja, dulu bisa berjam-jam. Kondisi jalan yang buruk, membuat
kendaraan roda empat kesulitan membawa hasil panen masyarakat. Kalaupun dapat
dibawa menggunakan motor, hasilnya pun terasa tidak efisien.
Akhirnya, hasil panen
masyarakat termasuk gula aren terjual murah, melalui para tengkulak yang datang
langsung. Pohon aren yang menjadi salah satu kekayaan alam desa, pada akhirnya
banyak diabaikan warga. Gula aren yang tercetak nyaris tak bernilai harganya.
Sementara biaya produksi secara tradisional juga tidaklah murah.
Kehidupan yang
terbelakang dan kesulitan ekonomi ini, makin diperparah dengan terjadinya musibah
kebakaran yang menimpa Talang Babungo pada tahun 2015. Sekitar 27 rumah hangus
terbakar. PT. Astra International, Tbk. Padang turut berkunjung memberikan
bantuan. Siapa sangka, kedatangan Astra Padang ke Talang Babungo, malah
menjadikan mereka terpesona akan keasrian Jorong Tabek.
Mereka memberikan
informasi tentang program Kampung Berseri Astra (KBA), yang diadakan oleh Corporate Social Responsibility (CSR)
PT. Astra International, Tbk. Ini merupakan sebuah program pembinaan desa yang
berfokus pada 4 pilar utama: Pendidikan, Kesehatan, Lingkungan, serta Wirausaha
yang mengoptimalkan potensi lokal melalui Produk Unggulan Kawasan Pedesaan
(PRUKADES).
Sebagai salah satu
tokoh muda Jorong Tabek, Bapak Kasri Satra tidak ingin menyia-nyiakan
kesempatan tersebut. Segera proposal dikirimkan pada CSR Astra Pusat. Dua
minggu kemudian, tim survei KBA dari Jakarta pun berkunjung. Saat itu, Jorong
Tabek bukanlah satu-satunya desa di Sumatera Barat yang ingin mengubah nasib
bersama Astra.
Namun, keasrian alam Jorong
Tabek, kekayaan alamnya berupa tebu dan aren, serta kehidupan masyarakatnya
yang masih kekeluargaan dan belum terbawa suasana modern, menjadikan Jorong
Tabek terpilih. Bahkan menjadi KBA pertama yang ada di Sumatera Barat. Akhir
tahun 2015, Jorong Tabek resmi menjadi KBA Tabek, di bawah arahan Bapak Kasri
Satra, S.Pd sebagai tokoh penggerak. Sementara program mulai dijalankan pada
awal tahun 2016.
Sambutan yang luar
biasa datang dari pemerintahan Nagari Talang Babungo, namun respon dari
masyarakat di awal tidak semudah itu. Bahkan sebagian Niniak Mamak, para tetua adat khawatir atas kehadiran KBA yang mungkin
akan berpengaruh negatif pada generasi muda.
“Saat dua tahun awal,
saya hanya dibantu oleh dua orang saja. Karena sebagian besar masyarakat maunya
hasil yang langsung instan. Sementara membangun KBA Tabek ini tidak bisa
seperti itu,” lanjut Pak Kasri.
Namun dengan pendekatan
yang Astra lakukan, serta program yang mulai terlihat berjalan, perlahan
masyarakat mulai menyatukan gerak untuk mengukir peradaban. Saat ini, ada
kurang lebih 200 pengurus KBA Tabek, yang sebagian besarnya para Bundo Kanduang.
Terkutip juga informasi
dari Bapak Yasrul -- Kepala Jorong Tabek, bahwa saat ini KBA Tabek merupakan jorong
terpadat nomor dua dalam Nagari Talang Babungo. Penduduknya ada 2.216 Jiwa,
dalam 495 Kepala Keluarga (KK)
Sistem kemasyarakatan
di KBA Tabek terbagi menjadi 11 Zona Hijau. Dalam tiap zona dihuni oleh 40 – 50
KK. Pembagian zona ini menurut Pak Yasrul, jadi memudahkan koordinasi dengan
warga. Bila ada sebuah program, tinggal dikoordinasikan saja pada Ketua Zona, kemudian
diteruskan pada warga.
Akses
Terbuka dan Inovasi Gula Semut: Pilar Kewirausahaan Berbasis Potensi Lokal
Jalanan yang rusak mulai diperbaiki. Ada yang diaspal, sebagian lagi dibeton. Tentu semuanya dikerjakan secara bergotong royong, seperti yang biasa dilakukan oleh warga jorong tiap kali ada pembangunan jalan, memperbaiki fasilitas umum, dan sebagainya. Bedanya, kini Astra telah hadir sebagai penyandang dana.
Hasil gotong royong pun
membuahkan hasil. Akses jalan yang sudah bagus, menjadikan perjalanan menuju
Pasar Alahan Panjang hanya 20 menit saja. Warga menjadi mudah untuk menjual
hasil panen. Mereka juga kembali bersemangat untuk mengurus pohon arennya, karena Rumah
Produksi Gula Semut KBA Tabek akan membeli nira dengan harga yang melebihi pasar.
Oleh Rumah Produksi
Gula Semut KBA Tabek, nira ini diproduksi menjadi gula aren dan gula semut.
Dalam inovasi gula semut ini, Astra memberikan oven produksi gula semut.
“Gula aren kita memang
sulit menembus pasar internasional, karena lembap dan mudah berjamur. Maka
tercetuslah ide akan inovasi gula semut ini,” ujar Pak Kasri saat
menjelaskan tentang Rumah Produksi Gula
Semut.
Nira yang dibeli dari
warga, akan disaring kemudian dimasak hingga mengental di atas tungku
hemat energi. Ya, sebuah proses yang sama dengan yang dilakukan warga secara
tradisional. Bedanya, alat ini tentunya dapat menekan biaya produksi, serta
proses pembuatan nira kental menjadi lebih cepat.
Nira kental ini
kemudian dibagi menjadi dua,: untuk dibuat gula aren dan gula semut. Nira kental
yang akan dijadikan gula semut, diletakkan dalam sebuah wadah untuk diaduk
dengan cepat. Proses ini dinamakan kristalisasi. Pengadukan terus dilakukan
hingga terbentuklah bongkahan-bongkahan kecil. Sebenarnya dari prosesnya inilah
dinamakan gula semut, karena bongkahan ini berlubang-lubang kecil seperti habis
dikerubuti semut. Proses ini juga bertujuan untuk mengeringkan kadar air tahap
awal.
Seorang pegawai yang sedang
melakukan kristalisasi, mengizinkan kami untuk mencicipi gula semut yang
masih kasar itu. Seperti saat saya menikmati air nira sebelumnya, gula semut itu
juga manisnya terasa lembut sekali. Kadar manisnya di bawah gula merah atau
gula tebu. Warnanya pun lebih terang kekuningan dibandingkan gula merah.
Gula semut kasar ini kemudian
disusun di atas loyang, untuk dimasukkan ke dalam oven pengering. Dengan
menggunakan suhu rendah sekitar 70 derajat Celcius, gula ini akan dioven selama
8-12 jam, agar kadar airnya menyusut hingga menjadi 2% saja. Durasi waktu
memang tergantung dari banyaknya gula yang masuk. Mengeringkan kadar air ini
akan membuat gula semut nantinya lebih awet hingga 6 bulan – 1 tahun.
Setelah gula keluar dari oven, kemudian dilakukan penghalusan menggunakan mesin penggiling. Gula semut pun menjadi halus seperti bubuk, yang kita sebut dengan gula semut (halus). Kemudian dilakukan pengayakan, untuk memastikan bahwa proses penghalusan telah sempurna.
Terakhir, gula semut dikemas
dalam wadah kedap udara. Agar terasa lebih ekonomis, Gula Semut KBA Tabek juga
tersedia dalam kemasan pouch 200 gram
seharga Rp..30.000.
Rumah Produksi Gula
Semut KBA Tabek dijalankan oleh 10 – 20 KK. Produksi hariannya sekitar 10 – 20
KG. Kemudian dalam 1 bulan bisa mencapai 1 – 1,5 Ton pada puncaknya, dari yang
sebelumnya hanya 25 KG saja.
Produksinya memang masih terbatas, tergantung banyaknya pesanan. Namun Rumah Produksi Gula
Semut KBA Tabek terus berinovasi, agar produk unggulan mereka dapat dipasarkan
secara mendunia.
“Sejauh ini warga KBA
Tabek tidak memerlukan bank! Karena seluruh kegiatan masyarakat dipayungi oleh
koperasi KSU ED Tabek,” sahut Pak Kasri yang membuat saya dan peserta workshop lainnya terkesan.
Proses produksi gula
aren dan gula semut, serta kegiatan UMKM masyarakat KBA Tabek lainnya, memang
berada di bawah naungan Koperasi Serba Usaha (KSU) Ekonomi Dagang (ED) Tabek.
Koperasi yang kini memiliki aset mencapai Rp. 17 Miliar dari para anggota dan semua produksi
UMKM KBA Tabek. Betapa sebuah capaian yang fantastis dalam sebuah desa kecil.
“Dari masyarakat, kita
kembalikan untuk masyarakat,” sambung Pak Kasri.
Hasil dari koperasi ini
digunakan untuk Dana Peduli Sosial. Bila ada warga yang sakit, melahirkan, atau
mungkin ada kerusakan jalan, maka dana ini dapat digunakan. Koperasi ini memang
tidak dibentuk oleh Astra, namun saat ini Astra turut mendampingi.
“Gula aren dan gula
semut ini memiliki rasa yang khas, yang hanya ada di Talang Babungo ini. Dari
ketinggian kurang lebih 1.200 MDPL,” sahut Pak Kasri.
Kehadiran Astra di KBA
Tabek memang tidak hanya memberikan alat saja, namun juga melakukan pembinaan
dan pendampingan. Salah satunya dalam pemasaran gula semut. Astra turut
mendampingi dalam hal manajemen, kualitas (SNI), serta perizinan.
Gula Semut KBA Tabek
banyak diborong oleh hotel, kafe, dan pasar modern hingga ke luar SumBar. Untuk
pembeli individu, produk tersedia melalui sentra oleh-oleh di Sumatera Barat,
serta dapat dibeli secara daring melalui Tokopedia dan media sosial KBA Tabek.
Peran besar KBA Tabek
dalam Rumah Produksi Gula Semut ini, selain dapat mengubah pundi-pundi keuangan
petani aren, juga memberikan lapangan pekerjaan pada warga dalam menjalankan produksinya.
Seperti perempuan muda yang sedang
menyangrai gula aren siang itu.
Membangun
Rumah Pintar dari Batang Pohon Aren: Menumbuhkan Pilar Pendidikan
“Bapak ibu harus tahu,
bahwa sebatang pohon aren itu harus diangkat minimal oleh 80 orang, baru bisa
terangkat,” sahut Pak Kasri saat berbagi cerita tentang proses pembangunan
Rumah Pintar.
Sebuah prinsip yang
dimiliki oleh Pak Kasri dalam membangun KBA Tabek adalah semua harus berawal
dari pendidikan. Dari sana lah, tercetus ide untuk membangun Rumah Pintar.
Sebuah rumah panggung berukuran 4 x 20 M dengan atap yang berbentuk Rumah Bagonjong khas Minangkabau. Tiang
pemancangnya, dibuat dari batang pohon aren yang ramai-ramai warga
mengangkatnya.
Hingga pada tahun 2019,
rumah panggung hasil kekayaan alam dan keringat gotong royong warga pun kokoh
berdiri. Siang itu, kami juga berkesempatan mengunjunginya.
Satu persatu kami
menaiki anak tangga. Pada sisi kiri, terdapat perpustakaan mini dengan deretan buku. Kemudian juga ada barisan piala hasil prestasi warga. Siang itu
ramai anak-anak yang sedang membaca buku, didampingi oleh para mahasiswa KKN.
Pada sisi luar,
terdapat ruang terbuka layaknya warung kopi. Ada kursi dan meja panjang dari
kayu, tempat pengunjung duduk-duduk sembari menikmati sejuknya udara Solok.
Rumah Pintar ini pun makin dipercantik dengan sebuah rumah pohon yang terletak
pada sisi kanan. Ada jembatan kecil untuk pengunjung ke sana. Ruang favorit
bagi pengunung untuk berfoto dan bervideo.
“Di sanalah kami
berkumpul, bermusyawarah, belajar adat, serta belajar tentang kemandirian,”
lanjut Pak Kasri.
Rumah Pintar yang
menjadi ikon KBA Tabek ini, saat ini berfungsi untuk:
* Perpustakaan budaya dan
ruang berbagai konsep ekonomi kerakyatan
* Penggalian model
ekonomi sirkular melalui diskusi dengan pegiat sosial
* Tempat berkumpul bagi
90 pegiat ekonomi setempat, yang sebagian besarnya para ibu rumah tangga
* Pusat informasi 45
penginapan di Desa Wisata Budaya KBA Tabek
Bila teman-teman
beserta rombongan berkunjung ke Rumah Pintar ini, teman-teman juga akan diajak
merasakan serunya Makan Bajamba –
sebuah acara makan bersama khas Minang.
Limbah
Aren untuk Ekonomi Sirkular: Menggenapkan Pilar Lingkungan dan Kesehatan
Tidak hanya berfokus pada pengolahan hasil panen nira saja, KBA Tabek perlahan juga menjalankan sistem ekonomi sirkular – di mana limbah produksi akan diolah menjadi produk bernilai ekonomi.
Limbah produksi gula
aren, gula semut, serta sampah rumah tangga lainnya, dijadikan pakan maggot, Rumah Maggot ini didirikan pada tahun 2021. Dalam sehari, maggot dapat
dipanen sebanyak 10 – 20 KG. Maggot ini kemudian dapat dijual untuk pakan
ternak. Sebagiannya juga untuk pakan peternakan ikan di KBA Tabek.
Lalu untuk limbah plastik
kemasan dan sampah non organik lainnya, KBA Tabek juga mendiirikan Bank Sampah.
Limbah plastik ini dapat dijual ke pihak
pendaur ulang.
Hasil dari ekonomi sirkular
ini, diarahkan untuk dana pendidikan dan beasiswa bagi generasi muda. Saat ini
ada 20 generasi muda KBA Tabek yang mendapat beasiswa kuliah ke Jepang. Ini
merupakan sebuah komitmen serius. Beasiswa telah membuka pintu bagi anak-anak KBA
Tabek untuk melanjutkan pendidikan, bahkan hingga ke jenjang luar negeri.
“Dulu jorong ini terkenal sebagai jorong tanpa sarjana. Tapi saat ini Alhamdulillah, dalam tiap keluarga, ada
saja anak-anaknya yang menjadi sarjana,” ucap Pak Kasri yang membuat kami
bertepuk tangan.
Selain dari hasil
ekonomi sirkular, Astra juga turut memberikan beasiswa pada anak-anak di KBA
Tabek, pada semua jenjang pendidikan.
Tak hanya untuk
pendidikan, ekonomi sirkular ini juga dirasakan manfaatnya oleh warga dalam
bidang kesehatan. Mulai dari air bersih, MCK, UKS, hingga Posyandu.
Menonton
Wisata Budaya “Manyadok Niro”
Kegiatan menyadap nira yang oleh orang Minang disebut manyadok
niro, menjadi salah satu kegiatan
di Wisata Desa Budaya KBA Tabek. Teman-teman dapat melihat langsung proses
pengambilan nira dari pucuk pohon aren.
Tentunya, pengunjung
juga akan diajak untuk menikmati aia niro,
minuman air nira hangat seperti yang kami nikmati kala itu.
Harmoni
Gotong Royong yang Membuahkan Penghargaan
Bukan uang atau sembako
yang diberikan oleh Astra, namun Astra hadir mendampingi dalam setiap gotong
royong yang dilakukan warga. Memang gotong royong merupakan salah satu warisan
nenek moyang kami, yang tersalin dalam lirik sebuah lagu “Kampuang Nan Jauah di
Mato”.
Basamo
Mangko Manjadi! Demikian falsafah nenek moyang, yang
mengartikan bahwa bila dikerjakan bersama-sama, maka segala yang sulit akan
terasa mudah. Hingga kita mencapai apa yang kita inginkan.
Sebuah desa kecil nan
terbelakang bernama Jorong Tabek, berkat harmoni gotong royong bersama Astra,
kini telah berubah menjadi sebuah “Kampung Berseri, Masyarakat Mandiri”.
Demikian slogan yang Pak Kasri sampaikan.
Hingga semangat gotong
royong pun menjadikan KBA Tabek bertabur sejumlah penghargaan, di antaranya:
* Program Kampung Iklim (PROKLIM) dari Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI
* 10 Besar Kampung Binaan Terbaik Astra
* 5 Besar KBA PROKLIM Berkelanjutan
Hingga
Hangat dan Manisnya Air Nira Khas Talang Babungo Dapat Kami Rasakan
Demikianlah perjalanan
panjang nira di Talang Babungo, khususnya di Jorong Tabek. Hingga pada 3
Agustus 2025, Astra mengajak kami berkunjung ke KBA Tabek dalam rangka roadshow Anugerah Pewarta Astra (APA)
dan Lomba Foto Astra (LFA) 2025.
Pagi-pagi sekali, saya
berangkat dari Padang bersama teman-teman Blogger Padang dalam sebuah mobil. Sementara
dalam bus pariwisata, ada juga rombongan media dan fotografer. Dua jam
perjalanan kami melintasi tikungan curam Sitinjau Laut, menatap indahnya
hamparan Danau Kembar, hingga tibalah kami di Alahan Panjang.
Setengah jam kemudian,
barulah rombongan kecil kami tiba di Talang Babungo, hingga sampai di KBA Tabek.
Bila teman-teman berangkat langsung dari Bandara Internasional Minangkabau
(BIM), akan menempuh sekitar 3 jam lamanya.
Di lapangan MIS
Mualimmin, penyambutan sungguh meriah. Warga mulai dari anak-anak hingga orang
tua ramai memadati sekolah. Anak-anak perempuan berlenggok menarikan Tari
Pasambahan, Tari Piring, dan Tari Batok dalam alunan musik tradisional yang
dimainkan oleh para Bundo Kanduang. Tarian
yang dipadukan dengan silat tradisonal oleh anak lelaki.
Kemudian juga ada stan
UMKM KBA Tabek, termasuk Gula Semut KBA Tabek. Ternyata banyak juga ragam
produk UMKM yang diproduksi.
Tentu saja, hangat dan
manisnya nira khas Talang Babungo menjadi minuman selamat datang untuk kami.. Sebelum
memasuki ruang kelas untuk menyimak workshop
yang dibawakan oleh Bapak Kasri Satra, S.Pd, selaku tokoh penggerak KBA
Astra. Hadir juga para narasumber lainnya.
Di setiap tegukan air
nira yang manis dan hangat itu, terangkum bukan hanya tentang rasa. Tetapi juga
tentang seluruh perjalanan panjang di sebuah desa kecil. Tentang makna
kegigihan dan semangat bergotong royong, yang mampu mengubah pahitnya kehidupan
menjadi manisnya peradaban yang berkelanjutan.
Semoga hangat dan
manisnya minuman air nira khas Talang Babungo, mencicipi gula aren dan gula
semut, menonton kegiatan manyadok niro, menikmati
kuliner Minang pada makan bajamba di
Rumah Pintar, serta mengenal budaya Minangkabau lainnya, juga dapat teman-teman
rasakan saat berlibur ke Desa Wisata Budaya KBA Tabek.
No comments:
Post a Comment
Hai temans, makasih banyak ya udah meluangkan waktu untuk mampir. Semua komen dimoderasi dulu ya. Jangan lupa untuk mampir pada postingan lainnya.