Segelas Nira Hangat di KBA Tabek: Harmoni Gotong Royong Mengukir Peradaban

Segelas nira hangat merupakan simbol perjalanan panjang pohon aren di Jorong Tabek. Kekayaan alam yang sempat terabaikan karena nyaris tidak bernilai jual. Titik balik hadir melalui harmoni gotong royong bersama Astra. Sinergi ini perlahan memutar roda ekonomi yang sebelumnya tertatih. Hingga di pagi menjelang siang itu, sang kekayaan alam pun diperkenalkan kepada kami. Hangat dan manisnya nira terangkum indah, sepulang dari kunjungan kami ke KBA Tabek, Talang Babungo


"Bapak-Ibu, ini ada minuman air nira. Silakan dicoba," ucap salah seorang Bundo Kanduang memanggil kami.


Saya turut berjalan, menuju meja tempat Bundo Kanduang menyajikan minuman dalam mini dispenser. Saat mencicipinya, saya terkesima. Maklum, ini merupakan kali pertama saya menikmatinya. Ternyata air nira itu berwarna kecokelatan, tidak hijau segar seperti air tebu. Manisnya terasa alami, lembut menyapa lidah. Kadar manis yang sedikit di bawah air tebu. Walau matahari kian meninggi, udara dingin Solok menjadikan segelas nira hangat terasa pas untuk dinikmati.


Air nira yang menjadi minuman penyambutan

Tentu ada alasan mendalam, mengapa para Bundo Kanduang -- para Ibu di Ranah Minang --menyuguhkan minuman itu. Di balik kehangatan nira yang kami nikmati, tersimpan perjalanan panjang pohon aren yang menjadi kekayaan alam di Talang Babungo, khususnya di Jorong Tabek.

 


Jorong Tabek, Desa Kecil dengan Pohon Aren yang Melimpah


Asri dan sejuknya KBA Tabek di balik Tugu Rangkiang Ecobricks

“Gula aren dan gula semut di sini memiliki rasa yang khas, yang hanya ada di Talang Babungo ini. Dari ketinggian kurang lebih 1.200 MDPL,” ujar Bapak Kasri Satra, S.Pd -- Tokoh Penggerak KBA Tabek -- saat bercerita tentang kekayaan alam.

 


Talang Babungo merupakan sebuah nagari (desa) yang berada di Kecamatan Hiliran Gumanti, ujung dataran tinggi Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Sejak dulu, pohon aren memang melimpah di sana. Ada lebih dari seribu pohon yang tumbuh menjulang di tebing-tebing kampung, termasuk di Tabek -- salah satu jorong (desa kecil) di Talang Babungo.


Dapat dikatakan, tiap keluarga di Talang Babungo memiliki perkebunan aren yang dapat dipanen setiap harinya. Bahkan, pohon aren dapat tumbuh meninggi dengan sendirinya. Bila pohon liar tersebut tumbuh dalam perkebunan milik seorang warga, maka otomatis akan menjadi milik orang tersebut.


Pada pohon yang menjulang hingga 20 meter ini, terdapat nira yang siap disadap. Bila petani menanam pohon aren hari ini, panen nira dapat dilakukan setelah lima tahun, saat pohon sudah mulai berbunga. Namun, produksi maksimal terjadi setelah pohon aren tumbuh selama 15 - 20 tahun.


Adakala udara Solok dinginnya menembus tulang. Namun bila panen nira tiba, tak ada petani yang gentar melawan ketinggian dalam hawa dingin. Dengan menggunakan tangga bambu, para petani aren di Talang Babungo tetap akan memanjat puncak pohon dengan sebilah palu di tangan.


Panen nira merupakan proses mengambil getah dari tangkai bunga atau mayang jantan. Getah bening yang berisi kandungan nutrisi dan gula ini yang disebut nira (air nira).


 

Proses Manyadok Niro (Menyadap Nira)


Manyadok Niro 

“Saya sudah melakukannya sejak kelas 3 SD.” Dalam sebuah video, Bapak Yusne Rahman --seorang warga di Talang Babungo -- berbagi kisah akan kesehariannya manyadok niro.

 

Dengan menggunakan palu yang mereka bawa, petani aren mulai melakukan peningguran (pemukulan). Mereka akan memilih tandan bunga jantan yang telah matang dan siap disadap, ditandai dengan bunga yang sudah mulai berguguran atau tercium aroma harum.


Selanjutnya, petani aren tersebut akan meninggur (memukul) tandan bunga dan pangkal tangkai. Pukulan cukup dilakukan secara perlahan namun merata, sambil mengayun-ayunkan tandan. Dalam kurang lebih satu bulan, mereka rutin melakukannya agar tangkai bunga menjadi lemas. Sel-sel yang membentuk jaringan aliran nira pun menjadi pecah.


Waktu untuk proses penyadapan tiba. Para petani aren kembali menaiki pohon dengan membawa alat pengiris dan bambu penampung. Awalnya mereka melakukan pengecekan terlebih dahulu. Ujung tangkai bunga diiris tipis. Jika nira mulai menetes keluar dengan lancar, artinya tandan telah siap disadap. Pengirisan kembali dilakukan secara merata. Setelah itu bambu dipasang untuk menampungnya.


Dari satu batang pohon aren, petani dapat menampung nira sebanyak 10-15 liter. Jumlah ini tergantung pada tingkat kesuburan tanah dan cara merawatnya. Untuk menjaga kualitas, petani memanen nira dua kali sehari: sore hari (untuk tetesan malam) dan pagi hari (untuk tetesan siang).


Siklus pengambilan ini penting, karena kandungan gula pada nira dapat memicu fermentasi cepat oleh khamir, jika diambil pada suhu hangat siang hari. Nira yang telah asam, tidak dapat diolah menjadi gula aren. Untuk menjaga agar nira tidak cepat mengalami fermentasi, para petani aren meletakkan pengawet alami berupa kulit kayu manggis atau nangka ke dalam bambu penampung.


 

Mengolah Nira Menjadi Gula Aren


Gula aren khas Talang Babungo di KBA Tabek

Nira yang telah dibawa pulang, harus segera diolah agar rasanya tidak berubah menjadi asam. Disaring terlebih dahulu agar tidak ada ampas yang tercampur. Setelah itu dididihkan hingga warnanya agak kecokelatan. Barulah dapat disimpan atau nantinya dipanaskan kembali bersama yang baru.


Air nira segar yang dididihkan hingga warnanya agak kecokelatan inilah, yang kala itu menjadi minuman penyambutan kami.


Nira yang akan diolah menjadi gula aren, dimasukkan ke dalam kuali baja yang besar. Lalu mulai direbus menggunakan api sedang, sambil diaduk selama kurang lebih 4,5 jam. Ya, layaknya memasak rendang. Ketika sudah mulai mendidih, akan bermunculan buih-buih. Pengolah gula aren akan membuang buih tersebut, agar nantinya gula aren yang telah dicetak menjadi cepat mengeras dan tidak kehitaman.


Bentuk tungku serta besarnya api, turut memengaruhi durasi nira akan mengental seperti sirup. Sebelum dimasukkan ke dalam cetakan, para pengolah gula aren akan melakukan pengecekan terlebih dahulu. Mereka menyiapkan air dingin, lalu meneteskan nira kental ke dalam air. Bila perlahan membeku, tidak melarut dalam air, artinya telah siap untuk dicetak.


Selanjutnya, pengolah gula aren akan menuang nira kental ini ke dalam cetakan tradisional, yang terbuat dari bambu atau batok kelapa. Gula aren dalam cetakan didiamkan selama satu malam, hingga dingin dan mengeras.


Barulah gula aren dapat dikemas. Bila pengemasan dilakukan saat masih hangat, nantinya akan lembap dan mudah berjamur. Dalam 20 liter nira yang dipanen, dapat menghasilkan 3 KG gula aren.


Mungkin semua terlihat berjalan lancar. Pohon aren yang merupakan anugerah Tuhan untuk masyarakat Talang Babungo, dapat menjadi salah satu sumber ekonomi masyarakatnya melalui kepingan gula aren. Namun kenyataannya tidak demikian. Siapa sangka, di balik manisnya gula aren yang tercetak, tersimpan pahitnya kehidupan. Kesulitan yang bahkan sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Jepang!


 

Berawal dari Kebakaran di Talang Babungo: Sebuah Titik Balik


Bapak Kasri Satra, S.Pd -- Tokoh Penggerak KBA Tabek

“Dulu, Jorong Tabek merupakan (salah satu) kampung termiskin di Sumatera Barat!” sahut Pak Kasri saat menceritakan pahitnya kehidupan di Jorong Tabek, sebelum hadirnya Astra.

 


Saat mobil yang membawa rombongan kecil kami memasuki Talang Babungo, ruas jalan yang kami lewati memang tidak begitu luas. Namun, jalanan yang telah di aspal menjadikan perjalanan terasa nyaman. Hingga sebuah panah menunjukkan lokasi KBA Tabek. Jalanan pun menjadi lebih kecil dan berpermukaan tanah, namun sopir tetap lancar melajukan mobil, hingga berhenti di depan sebuah rumah panggung.


Rombongan kecil kami turun. Mata saya tertuju pada tulisan besar yang tertera di rumah panggung tersebut: “Rumah Pintar”. Lalu saya menyapukan pandangan ke sekeliling. Persawahan, pepohonan, serta deretan bunga yang menjadikan pagi menjelang siang itu terasa asri sekali. Ditambah lagi, udara Solok yang luar biasa sejuknya.


Siapa sangka, kampung yang sejuk dan asri itu, ternyata pernah menjadi sebuah kampung yang kumuh, terbelakang, dan penuh kemiskinan.


 

Dulu, Jorong Tabek merupakan sebuah desa terpencil dengan akses jalan yang rusak. Bahkan sekadar untuk menjual hasil panen ke Pasar Alahan Panjang -- yang kini hanya menempuh waktu 20 menit saja, dulu bisa berjam-jam. Kondisi jalan yang buruk, membuat kendaraan roda empat kesulitan membawa hasil panen warga. Kalaupun dapat dibawa menggunakan motor, hasilnya pun terasa tidak efisien.


Akhirnya, hasil panen warga termasuk gula aren terjual murah, melalui para tengkulak yang datang langsung. Pohon aren yang menjadi salah satu kekayaan alam, pada akhirnya banyak diabaikan warga. Gula aren yang tercetak nyaris tidak memiliki nilai jual. Sementara biaya produksi secara tradisional juga tidaklah murah.


Kehidupan yang terbelakang dan kesulitan ekonomi ini, makin diperparah dengan terjadinya musibah kebakaran yang menimpa Talang Babungo, pada bulan September 2015. Ada 27 rumah hangus terbakar. PT. Astra International, Tbk. Cabang Padang turut berkunjung memberikan bantuan. Siapa sangka, kedatangan Astra Padang ke Talang Babungo, justru menjadikan mereka terpesona akan keasrian Jorong Tabek.


Para Narasumber, dua dari kiri: Rananggana Rayidhea (Astra), Kasri Satra (Penggerak KBA Tabek), Yasrul (Kepala Jorong), Prasetyo Utomo (Jurnalis Foto Antara Foto)

Mereka memberikan informasi tentang program Kampung Berseri Astra (KBA), yang diadakan oleh Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Astra International, Tbk. Ini merupakan sebuah program pembinaan desa yang berfokus pada 4 pilar utama: Pendidikan, Kesehatan, Lingkungan, serta Wirausaha yang mengoptimalkan potensi lokal melalui Produk Unggulan Kawasan Pedesaan (PRUKADES).


Sebagai salah satu tokoh muda Jorong Tabek, Pak Kasri tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Segera proposal dikirimkan pada CSR Astra Pusat. Dua minggu kemudian, tim survei KBA dari Jakarta pun berkunjung. Saat itu, Jorong Tabek bukanlah satu-satunya desa di Sumatera Barat yang ingin mengubah nasib bersama Astra.


Namun, keasrian alam Jorong Tabek, kekayaan alamnya berupa tebu dan aren, serta kehidupan masyarakatnya yang masih kekeluargaan dan belum terbawa suasana modern, menjadikan Jorong Tabek terpilih. Bahkan menjadi KBA pertama yang ada di Sumatera Barat. 


Akhir tahun 2015, Jorong Tabek resmi menjadi KBA Tabek, di bawah arahan Bapak Kasri Satra, S.Pd sebagai tokoh penggerak. Sementara program mulai dijalankan pada awal tahun 2016.


Sambutan yang luar biasa datang dari pemerintahan Nagari Talang Babungo. Namun respon dari masyarakat, tidaklah semudah itu. Bahkan para Niniak Mamak -- para lelaki yang dituakan dalam keluarga besar dan masyarakat -- khawatir atas kehadiran KBA. Mereka takut hal itu akan berpengaruh negatif pada generasi muda.


“Saat dua tahun awal, saya hanya dibantu oleh dua orang saja. Karena sebagian besar masyarakat maunya hasil yang langsung instan. Sementara membangun KBA Tabek ini tidak bisa seperti itu,” lanjut Pak Kasri.


Namun setelah program yang mulai terlihat berjalan, perlahan masyarakat mulai bergabung. Saat ini ada kurang lebih 200 pengurus KBA Tabek, yang sebagian besarnya para Bundo Kanduang.


Terkutip juga informasi dari Bapak Yasrul -- Kepala Jorong Tabek, bahwa saat ini KBA Tabek merupakan jorong terpadat nomor dua di Nagari Talang Babungo. Penduduknya ada 2.216 Jiwa, dalam 495 Kepala Keluarga (KK).


Sistem kemasyarakatan di KBA Tabek terbagi menjadi 11 Zona Hijau. Dalam tiap zona dihuni oleh 40–50 KK. Pembagian zona ini menurut Pak Yasrul, jadi memudahkan koordinasi dengan warga. Bila ada sebuah program, tinggal dikoordinasikan saja pada Ketua Zona, lalu diteruskan pada warga.  


 

Akses Terbuka dan Inovasi Gula Semut: Pilar Kewirausahaan Berbasis Potensi Lokal


Bertabur bungo di Talang Babungo. Gerakan menanam bunga ini juga menjadi bagian dari Pilar Lingkungan di KBA Tabek

Jalanan yang rusak mulai diperbaiki. Ada yang di aspal, sebagian lagi di beton. Semuanya dikerjakan secara bergotong royong, seperti yang biasa dilakukan oleh warga jorong tiap kali ada pembangunan jalan, memperbaiki fasilitas umum, dan sebagainya. Bedanya, kini Astra hadir sebagai penyandang dana.


Hasil gotong royong pun membuahkan hasil. Akses jalan yang sudah bagus, menjadikan perjalanan menuju Pasar Alahan Panjang hanya 20 menit saja. Warga menjadi mudah untuk menjual hasil panen. Mereka juga kembali bersemangat untuk mengurus pohon aren, karena Rumah Produksi Gula Semut KBA Tabek akan membeli nira dengan harga yang melebihi pasar.


Rumah Produksi Gula Semut KBA Tabek

Rumah Produksi Gula Semut KBA Tabek dibangun pada tahun 2018. Nira yang dibeli dari petani, diolah menjadi gula aren, sirup aren, dan gula semut. Dalam inovasi gula semut ini, Astra memberikan oven produksi.


“Gula aren kita memang sulit menembus pasar internasional, karena lembap dan mudah berjamur. Makanya tercetuslah ide akan inovasi gula semut ini,” ujar Pak Kasri saat menjelaskan  tentang Rumah Produksi Gula Semut.


Setelah disaring, nira dimasak hingga menjadi kental di atas tungku hemat energi. Ya, sebuah proses yang sama dengan yang dilakukan warga secara tradisional. Bedanya, alat ini dapat menekan biaya produksi, serta proses pembuatan nira kental menjadi lebih cepat.


Nira kental ini kemudian dibagi untuk dibuat gula aren, sirup aren, dan gula semut. Nira kental yang akan dijadikan gula semut, diletakkan dalam sebuah wadah untuk diaduk dengan cepat. Proses ini dinamakan kristalisasi. Pengadukan terus dilakukan hingga terbentuklah bongkahan-bongkahan kecil. Proses ini juga bertujuan untuk mengeringkan kadar air tahap awal.


Gula semut kasar akan dioven. Loyang di atas meja merupakan gula semut kasar yang kami cicipi

Seorang pegawai yang sedang melakukan kristalisasi, mengizinkan kami untuk mencicipi gula semut yang masih kasar itu. Seperti saat saya menikmati air nira sebelumnya, gula semut ini juga manisnya terasa lembut sekali. Manisnya tidak melekit seperti gula merah atau gula tebu. Warnanya pun lebih terang kekuningan dibandingkan gula merah.


Gula semut kasar ini kemudian disusun di atas loyang, layaknya adonan kue kering. Setelah itu dimasukkan ke dalam oven pengering. Dengan menggunakan suhu rendah sekitar 70 derajat Celcius, gula ini dioven selama 8-12 jam, agar kadar airnya menyusut hingga menjadi 2-3% saja. Durasi waktu memang tergantung dari banyaknya gula yang masuk. Mengeringkan kadar air ini akan membuat gula semut nantinya lebih awet hingga 6 bulan – 1 tahun.


Setelah gula keluar dari oven, kemudian dilakukan penghalusan menggunakan mesin penggiling. Gula semut pun menjadi halus seperti bubuk. Kemudian dilakukan pengayakan, untuk memastikan bahwa proses penghalusan telah berjalan sempurna.


Gula Semut KBA Tabek

Terakhir, gula semut dikemas dalam wadah kedap udara. Agar terasa lebih ekonomis, Gula Semut KBA Tabek juga tersedia dalam kemasan pouch 200 gram seharga Rp.30.000. Sedangkan kepingan gula aren 200 gram, dijual seharga Rp. 20.000.


Gula Semut KBA Tabek memang terasa lebih mahal dibandingkan dengan yang ada di pasaran, karena ada klaim akan kemurnian 100% air nira, tanpa campuran air tebu, pengawet, serta pewarna. Kualitasnya juga sesuai standar produk ekspor, di mana kadar air maksimal hanya 3% saja. Aroma dan citarasanya cocok untuk minuman ala hotel, kafe, atau restoran. 


Rumah Produksi Gula Semut KBA Tabek dihidupkan oleh 10 – 20 KK. Setiap harinya, mereka memproduksi gula semut sebanyak 10 – 20 KG. Kemudian dalam 1 bulan bisa mencapai 1 – 1,5 Ton pada puncaknya. Tentu ini sebuah produksi yang meningkat tajam, dari yang sebelumnya hanya 25 KG saja.  


Dari data produksi tersebut, maka omzet kotor Rumah Produksi Gula Semut KBA Tabek dalam 1 bulan mencapai Rp 150 juta - Rp 225 juta. Sebelum dikeluarkan biaya nira petani, produksi, serta gaji pegawai. 


Produksinya memang masih belum stabil dan terbatas, tergantung banyaknya pesanan. Ditambah lagi, adakalanya kualitas bahan baku yang tidak memungkingkan untuk diolah menjadi gula semut. Namun Rumah Produksi Gula Semut KBA Tabek terus berinovasi, agar produk unggulan mereka dapat dipasarkan secara mendunia.


“Sejauh ini warga KBA Tabek tidak memerlukan bank. Karena seluruh kegiatan masyarakat dipayungi oleh koperasi KSU ED Tabek,” cetus Pak Kasri yang membuat saya dan peserta workshop lainnya terkesan.


Proses produksi gula aren dan gula semut, serta kegiatan UMKM masyarakat KBA Tabek lainnya, memang berada di bawah naungan Koperasi Serba Usaha (KSU) Ekonomi Dagang (ED) Tabek. Koperasi yang kini memiliki asset mencapai Rp 17 Miliar, dari kurang lebih 700 anggota. Betapa sebuah capaian yang fantastis dalam sebuah desa kecil.


“Dari masyarakat, kita kembalikan untuk masyarakat,” sambung Pak Kasri.


Hasil dari koperasi ini digunakan untuk Dana Peduli Sosial. Bila ada warga yang sakit, melahirkan, atau mungkin ada kerusakan jalan, maka dana ini dapat digunakan.


Kehadiran Astra di KBA Tabek memang tidak hanya memberikan alat saja, namun juga melakukan pembinaan dan pendampingan. Salah satunya dalam pemasaran gula semut. Astra turut mendampingi dalam hal manajemen, kualitas (SNI), serta perizinan.


Gula Semut KBA Tabek banyak diborong oleh hotel, kafe, dan pasar modern di luar Sumbar. Untuk pembeli individu, produk tersedia melalui sentra oleh-oleh di Sumatera Barat, serta dapat dibeli secara daring melalui Tokopedia dan media sosial KBA Tabek.


Sebagai dukungan, Astra juga turut memborong berbagai produk UMKM kemasan di KBA Tabek, termasuk gula semut ini.


Peran besar KBA Tabek dalam Rumah Produksi Gula Semut, selain dapat mengubah pundi-pundi keuangan petani aren, juga memberikan lapangan pekerjaan pada warga. Seperti uni yang sedang menyangrai gula aren siang itu.


 

Membangun Rumah Pintar dari Batang Pohon Aren: Menumbuhkan Pilar Pendidikan


Rumah Pintar yang menjadi ikon KBA Tabek

“Sebatang pohon aren itu harus diangkat minimal oleh 80 orang, baru bisa terangkat,” sahut Pak Kasri saat berbagi cerita tentang proses pembangunan Rumah Pintar.

 


Sebuah prinsip yang dimiliki oleh Pak Kasri dalam membangun KBA Tabek adalah semua harus berawal dari pendidikan. Dari sanalah, tercetus ide untuk membangun Rumah Pintar. Sebuah rumah panggung berukuran 4 x 20 M dengan atap yang berbentuk Rumah Bagonjong khas Minangkabau. Tiang pemancangnya, dibuat dari batang pohon aren yang ramai-ramai warga mengangkatnya.


Hingga pada tahun 2019, rumah panggung hasil kekayaan alam dan keringat gotong royong warga pun kokoh berdiri. Siang itu, kami juga berkesempatan mengunjunginya. Pada sisi kiri, terdapat perpustakaan mini dengan berderet banyak buku. Kemudian juga ada barisan piala hasil prestasi warga. Siang itu ramai anak-anak yang sedang membaca buku, didampingi oleh para mahasiswa KKN.


Di dalam Rumah Pintar

Pada sisi luar, terdapat ruang terbuka layaknya warung kopi. Ada kursi dan meja panjang dari kayu, tempat pengunjung duduk-duduk sembari menikmati sejuknya angin Solok. Rumah Pintar ini pun makin dipercantik dengan sebuah rumah pohon yang terletak pada sisi kanan. Ada jembatan penghubung bagi yang ingin berfoto dan bervideo di sana.


“Di sanalah kami berkumpul, bermusyawarah, belajar adat, serta belajar tentang kemandirian,” lanjut Pak Kasri.


Rumah Pintar yang menjadi ikon KBA Tabek ini, saat ini berfungsi sebagai:


·       *  Perpustakaan budaya dan ruang berbagai konsep ekonomi kerakyatan

·       *  Penggalian model ekonomi sirkular melalui diskusi dengan pegiat sosial

·       *  Tempat berkumpul bagi 90 pegiat ekonomi setempat, yang sebagian besarnya para ibu rumah tangga

·        * Pusat informasi 45 penginapan di Desa Wisata Budaya KBA Tabek


Bila teman-teman beserta rombongan berkunjung ke Rumah Pintar, akan diajak merasakan serunya Makan Bajamba – sebuah acara makan bersama khas Minang. Serta mengenal budaya Minangkabau lainnya.


 

Limbah Aren untuk Ekonomi Sirkular: Menggenapkan Pilar Lingkungan dan Kesehatan


Tidak hanya berfokus pada pengolahan hasil panen nira saja, KBA Tabek perlahan juga menjalankan sistem ekonomi sirkular – di mana limbah produksi akan diolah menjadi produk bernilai ekonomi.


Maggot di Rumah Maggot KBA Tabek

Limbah produksi gula aren, gula semut, serta sampah rumah tangga lainnya, dijadikan pakan maggot. Rumah Maggot ini didirikan pada tahun 2021. Dalam sehari, maggot dapat dipanen sebanyak 10 – 20 KG. Maggot ini dapat dijual untuk pakan ternak. Sebagiannya juga untuk peternakan ikan di KBA Tabek.


Sedangkan limbah plastik kemasan dan sampah non organik lainnya, KBA Tabek juga mendiirikan Bank Sampah. Limbah plastik ini dapat dijual ke pihak pendaur ulang.


Bank Sampah di KBA Tabek

Hasil dari ekonomi sirkular ini, diarahkan untuk dana pendidikan dan beasiswa.  Saat ini ada 20 generasi muda KBA Tabek yang mendapat beasiswa kuliah ke Jepang. Ini merupakan sebuah komitmen serius. Beasiswa telah membuka pintu bagi anak-anak KBA Tabek untuk melanjutkan pendidikan, bahkan hingga ke jenjang luar negeri.


“Dulu jorong ini terkenal sebagai jorong tanpa sarjana. Tapi saat ini Alhamdulillah, dalam tiap keluarga, ada saja anak-anaknya yang menjadi sarjana,” ucap Pak Kasri yang membuat kami bertepuk tangan.


Selain dari hasil ekonomi sirkular, Astra juga turut memberikan beasiswa pada anak-anak di KBA Tabek, pada semua jenjang pendidikan.


Tidak hanya untuk pendidikan, ekonomi sirkular juga dirasakan manfaatnya oleh warga dalam bidang kesehatan. Mulai dari air bersih, MCK, UKS, hingga Posyandu.


 

Menonton Wisata Budaya “Manyadok Niro”


Menyadap nira, yang oleh orang Minang disebut manyadok niro, menjadi salah satu kegiatan seru di Wisata Desa Budaya KBA Tabek. Teman-teman dapat melihat langsung proses pengambilan nira dari pucuk pohon aren. Atau mungkin tertarik untuk mencobanya.


Tentunya, wisatawan juga akan diajak untuk menikmati aia niro, minuman air nira hangat seperti yang kami nikmati kala itu.


 

Harmoni Gotong Royong yang Membuahkan Penghargaan


Bukan uang atau sembako yang diberikan oleh Astra, namun Astra hadir mendampingi dalam setiap gotong royong warga. Memang gotong royong merupakan salah satu warisan nenek moyang kami, yang tersalin dalam lirik sebuah lagu “Kampuang Nan Jauah di Mato”.


Basamo Mangko Manjadi! Demikian falsafah nenek moyang, yang mengartikan bahwa bila dikerjakan bersama-sama, maka segala yang sulit akan terasa mudah. Hingga kita mencapai apa yang kita inginkan.


Sebuah desa kecil nan terbelakang bernama Jorong Tabek, berkat harmoni gotong royong bersama Astra, kini telah berubah menjadi sebuah “Kampung Berseri, Masyarakat Mandiri”. Demikian slogan yang Pak Kasri sampaikan.


Hingga semangat gotong royong pun menjadikan KBA Tabek bertabur sejumlah penghargaan, di antaranya:


 * Program Kampung Iklim (PROKLIM) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI

 * 10 Besar Kampung Binaan Terbaik Astra

 * 5 Besar KBA PROKLIM Berkelanjutan

 


Hingga Hangat dan Manisnya Nira Khas Talang Babungo Dapat Kami Rasakan


Tari Piring Kreasi dari anak-anak KBA Tabek yang berlatih di Rumah Pintar

Demikian perjalanan panjang nira di Talang Babungo, khususnya di Jorong Tabek. Hingga pada 3 Agustus 2025, Astra mengajak kami berkunjung dalam rangka roadshow Anugerah Pewarta Astra (APA) dan Lomba Foto Astra (LFA) 2025.


Pagi-pagi sekali, saya berangkat dari Padang bersama teman-teman Blogger Padang dalam sebuah mobil. Pada bus pariwisata berisi rombongan media dan fotografer. Dua jam perjalanan kami, melintasi tikungan curam Sitinjau Laut, menatap indahnya hamparan Danau Kembar, hingga tibalah kami di Alahan Panjang.


Setengah jam kemudian, rombongan kecil kami tiba di Talang Babungo. Hingga sampailah kami di KBA Tabek. Bila teman-teman berangkat langsung dari Bandara Internasional Minangkabau (BIM), akan menempuh sekitar 3 jam lamanya.


Di lapangan MIS Mualimmin, penyambutan sungguh meriah. Warga mulai dari anak-anak hingga kakek nenek ramai memadati sekolah. Anak-anak perempuan berlenggok menarikan Tari Pasambahan, Tari Piring, dan Tari Kreasi, dalam alunan musik tradisional yang dimainkan oleh para Bundo Kanduang. Tarian yang dipadukan dengan silat tradisonal oleh anak lelaki.


Kemudian juga ada stan UMKM KBA Tabek, termasuk gula aren dan gula semut. Ternyata banyak juga ragam produk UMKM yang diproduksi. Sayangnya tidak ada sirup aren, yang juga menjadi salah satu inovasi nira di KBA Tabek.


Tentu saja, hangat dan manisnya nira khas Talang Babungo menjadi minuman penyambutan kami. Sebelum memasuki ruang kelas untuk menyimak workshop yang dibawakan oleh Bapak Kasri Satra dan narasumber lainnya.


Di setiap tegukan air nira yang manis dan hangat itu, terangkum bukan hanya tentang rasa. Tetapi juga tentang seluruh perjalanan panjang di sebuah desa kecil. Tentang makna kegigihan dan semangat bergotong royong, yang mampu mengubah pahitnya kehidupan menjadi manisnya peradaban yang berkelanjutan.


Blogger Padang bersama Kak Yusnita (berhijab merah muda), wartawan senior Haluan yang juga menjadi salah satu narasumber

Semoga hangat dan manisnya minuman air nira khas Talang Babungo, mencicipi gula aren dan gula semut, menonton kegiatan manyadok niro, menikmati serunya makan bajamba di Rumah Pintar, serta mengenal budaya Minangkabau lainnya, juga dapat teman-teman rasakan saat berlibur ke Desa Wisata Budaya KBA Tabek. Salam hangat dari Padang!


Pendukung Materi: 

Pak Kasri Satra, S.Pd dalam workshop Roadshow Astra 2025 di KBA Tabek

Instagram @kba_tabek_talangbabungo

https://www.eviindrawanto.com/2020/03/cara-panen-nira-aren/

Youtube Info Sumbar : Menyadap Nira dan Pembuatan Gula Aren di Talang Babungo

1 comment:

  1. Keren banget ya, dari desa terbelakang berubah menjadi desa mandiri yang maju seperti itu. Andai ada program pemerintah buat setiap desa kayak gitu, dilihat apa produk unggulannya lalu dibina oleh ahlinya, kayaknya bisa deh.

    ReplyDelete

Hai temans, makasih banyak ya udah meluangkan waktu untuk mampir. Semua komen dimoderasi dulu ya. Jangan lupa untuk mampir pada postingan lainnya.